Jumat, 17 Juli 2020

[KKN-DR: Produk 6] Kebebasan Pers dan Rambu yang Mengawasi


KEBEBASAN PERS DAN RAMBU YANG MENGAWASI
IMRO ATUR RODHIYAH
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum

ABSTRAK
Kebebasan pers bukan berarti pers tidak memiliki aturan. Kebebasan ini harus berlandaskan kepada aturan yang berlaku. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa aturan apa saja yang melingkupi pers sehingga dapat disebut sebagai pers bebas. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data didapatkan secara primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui dokumentasi dan data sekunder dikumpulkan melalui observasi dari situasi sosial. Tenik analisis data yang digunakan berupa menentukan poin yang akan dikaji, membaca, mencatat dan menganalisis poin-poin tersebut dengan sumber buku-buku yang mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat diklasifikasikan menjadi undang-undang pers, kode etik jurnalistik dan konsep kebebasan pers. Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menjadi pers yang bebas, pers itu harus mengikuti UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia. Aturan ini membebaskan sekaligus mengikat pers agar dapat bekerja sebagai penyedia informasi yang kredibel dan akurat.
KATA KUNCI:.undang-undang pers, kode etik jurnalistik, konsep kebebasan pers.

ABSTRACT
Freedom of the press does not mean that the press does not have a rule.  This freedom should be based on rules that apply. This research has purpose to analyze any rules surrounding the press and thus be a free press. This is a qualitative study with literary approach. Primary data is collected through documentation and secondary data collected through observation of social situations. The techniques of data-analysis used include determining of the points which will be studied, read, take notes and analyze those points with the source of books supporting them. Research indicators may be classified into the press act, the ethical code of journalism and the concept of freedom of the press. This study shows that to be a free press, it must follow 2002 act No. 32 on broadcasting, 1999 act No. 40 on press and the journalistic code of Indonesian Press Union. This rule liberates and binds the press in order to work as credible and accurate information media.
Keyword: act of press, the ethical code of journalism, the concept of freedom of press.


A.    PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan atau jurnalis akan memerlukan sebuah aturan yang dapat mengikatnya, sehingga ia tidak menyalahgunakan profesinya kedalam berbagai hal. Di Indonesia sendiri, banyak aturan yang mengikat wartawan atau jurnalis, baik individunya maupun lembaga pers itu sendiri. Namun, aturan yang paling mendasar terdapat dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia. Diharapkan dengan adanya aturan ini, pers Indonesia akan semakin baik dan tidak lagi menjauh dari nilai-nilai yang seharusnya ditampilkan sebuah lembaga pers.
Miris, saat ini aturan itu seakan angin lalu. Menjamurnya portal berita daring menyebabkan aturan ini seakan tidak berlaku bagi wartawan online. Memang, jika ditilik dari target media (online: kecepatan; cetak:keakuratan; elektronik:cepat dan akurat) aturan yang melingkupi wartawannya harus dibedakan pula. Namun, bukan berarti wartawan online bisa menanggalkan aturan yang menjadi acuan wartawan Indonesia tersebut. Ditambah minimnya pengetahuan masyarakat perihal wartawan, pers dan media menjadikan posisi wartawan sebagai penyaji informasi terpercaya makin sulit. Untuk itu, diperlukan penyadaran serta penyebarluasan mengenai kegiatan jurnalistik agar kita terhindar dari informasi palsu yang semakin tampak.
B.     PEMBAHASAN
Undang-undang membatasi media pers dari hal-hal yang boleh diberitakan melalui pasal-pasalnya. Di Indonesia terdapat dua undang-undang yang mengatur tentang pers dan penyiaran, yaitu UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedua undang-undang ini merupakan rambu bagi pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia. Walau kedua undang-undang tersebut masih menyisakan banyak kelemahan yang menimbulkan perdebatan, namun sifatnya tetap mengikat hingga saat ini.[1]
Bunyi UU No. 40 tahun 1999 tentang wartawan (Bab III Pasal 7):
“(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan; dan
  (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Selain undang-undang tersebut, wartawan juga memiliki aturan lain yang dirangkum dalam kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Kode etik jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KEJ PWI mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan pada tahun 2006, Dewan Pers merumuskan kode etik jurnalistik baru yang merupakan penyempurnaan dari kode etik yang lama, yakni: [2]
1.      Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.
2.     Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3.    Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan praduga tak bersalah.
4.     Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.
5.    Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6.      Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7.     Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8.    Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat yang lemah, miskin, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9.     Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10.  Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa.
11.     Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara profesional.
Dari kode etik jurnalistik diatas, sebenarnya sudah cukup jelas batasan kerja dari seorang wartawan pers. Khalayak perlu mengetahui hal ini, karena banyak yang tidak mengerti bahwa wartawan bergerak mencari fakta namun juga melindungi, bukan sekedar memberitakan kemudian berlepas tangan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi kasus pelecehan anak oleh manajernya. Meski media telah melakukan sensor terhadap nama, wajah serta ciri lain dari si anak, khalayak malah mengeksposnya melalui media sosial. Melemparkan komentar-komentar yang berisi dugaan identitas si anak, hingga orang lain yang sebenarnya tidak terlibat turut menjadi sasaran. Tujuan dari melindungi identitas ini bukan sekedar wartawan malas atau disuap, melainkan untuk melindungi anak yang menjadi korban tersebut. Masa depan seseorang bisa hancur dengan hanya sebaris berita, untuk itulah wartawan bergerak mengikuti aturan yang ada. Wartawan harus berhati-hati agar tidak hanya korban yang dilindungi, namun juga keluarga dari korban bahkan pelaku itu sendiri. Sayang sekali, wartawan media online banyak yang melanggar hal ini. Tentu, media tersebut bukanlah media besar yang memiliki kepercayaan tinggi dari pembaca, namun dengan berkembangnya teknologi, tidak menutup kemungkinan khalayak lebih memilih judul menarik perhatian meski berasal dari situs tidak kredibel. Jika sudah seperti ini, lantas khalayak akan mengekspresikan reaksinya melalui media sosial masing-masing, sehingga sulit bagi media mengontrol penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan rambu pers.
Dalam mengkaji relasi pers dengan masyarakat, harus mempertimbangkan sistem atau konsep nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut, sebab konsep itulah yang mengikat dan membentuk tata kehidupannya. Dia menjadi dasar pertimbangan bagi penyusunan hukum positif maupun kode etik profesi.
Tahun 1974, Dewan Pers merumuskan Pers Pancasila dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idiil Pers. Disana disebutkan antara lain bahwa pers dalam menjalankan kebebasannya mempertimbangkan harmoni dalam masyarakat, serta keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. Pers Pancasila juga dikatakan harus memperhatikan keseimbangan antara kehidupan manusia dan alamnya. Para pakar saat itu ada yang berpandangan bahwa pers seperti itu tidak sama dengan pers di negara liberal dan juga tidak sama dengan pers yang ada di negara komunis-sosialis. Mereka menggambarkan pers Pancasila sebagai “pers bebas dan bertanggung jawab”. Ada kalangan yang menilai konsep pers Pancasila itu sebenarnya sangat bagus, tetapi karena pemerintah ketika itu menjadikannya hanya sebagai tameng untuk mengekang kebebasan pers, citra positifnya menjadi hilang.
Pada kenyataannya, hingga saat ini, para pakar baru mengenal empat konsep kebebasan pers, yaitu:[3]
1.   Authoritarian Concept of the Pers, yakni konsep yang muncul saat iklim otoriter sedang berjaya diakhir abad renaisans. Pers milik raja wajib menyuarakan kebijakan Raja, dan pihak swasta harus memiliki izin dari raja untuk menerbitkan sesuatu. Izin itu juga dapat dicabut seketika jika Raja menginginkan;
2.     Libertarian Concept of the Pers, dalam konsep ini, pers harus benar-benar bebas dari segala kontrol dan pembatasan dari manapun datangnya agar ia dapat menjalankan fungsinya;
3.      Totalitarian Concept of the Pers, lembaga pers harus menjadi milik partai;
4.    Social Responsibility of the Pers, pers menjamin semua pihak dapat terwakili dan masyarakat mendapat cukup informasi untuk mengambil keputusan.
Dari empat konsep tersebut, pers Indonesia diharapkan untuk memenuhi konsep social responsibility, karena pada bagian inilah pers menjadi sosok yang sebenarnya. Jika pers mengikuti konsep libertarian (konsep pers Indonesia saat ini), dikuatirkan pers akan terlalu bebas, sehingga hal yang sebenarnya tidak perlu diberitakan tetap menjadi konsumsi publik (contoh: kehidupan sehari-hari figur publik, silsilah keluarganya sampai isi ATM yang dimiliki) atau malah memberitakan sesuatu yang sebenarnya bisa ditahan untuk mencegah kepanikan massal. Bukan berarti media menahan informasi, namun ada beberapa hal yang sebenarnya belum bisa diceritakan pada publik malah bocor karena konsep libertarian ini. Ujungnya, khalayak terpecah dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pihak yang diberitakan atau pers itu sendiri.
C.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan mengenai pers Indonesia merujuk kepada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, dalam menyajikan informasi, wartawan pers mengacu kepada kode etik jurnalistik yang telah disepakati. Aturan tersebut dibuat bukan hanya untuk mencegah penyalahgunaan profesi, namun juga memberikan jaminan kepada setiap individu yang terlibat dengan pers. Saat ini, banyak wartawan yang tidak lagi berpatokan kepada aturan tersebut, kususnya pada wartawan yang bergerak dimedia online. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari wartawan dan khalayak. Adanya kejelasan mengenai posisi wartawan ini diharapkan dapat memberi gambaran pada khalayak, mana informasi yang patut mereka percayai, mana yang tidak. Selain itu, dengan menyadari keberadaan aturan ini, wartawan yang bergerak sendiri (freelance) diharapkan turut patuh kepada rambu jurnalistik agar tidak ada khalayak yang menganggap remeh informasi yang disampaikan oleh seluruh insan pers.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga
Daulay, Hamdan. 2016. Jurnalistik dan Kebebasan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Shoelhi, Mohammad. 2014. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Suryawati, Indah. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1]  Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014) h. 97.
[2] Hamdan Daulay, Jurnalistik dan Kebebasan Pers (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016) h. 33-34.
[3] Sedia Willing Barus, Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Erlangga, 2010) h. 238-241.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar