IDENTITAS BUDAYA
IMRO
ATUR RODHIYAH
Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang
KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum
ABSTRAK
Identitas
budaya merupakan karakter khusus yang melekat dalam sebuah budaya sehingga
dapat dibedakan satu sama lain. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa
faktor yang mempengaruhi sebuah identitas budaya. Penelitian ini merupakan
studi kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data didapatkan secara
primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui dokumentasi dan data
sekunder dikumpulkan melalui observasi dari situasi sosial. Tenik analisis data
yang digunakan berupa menentukan poin yang akan dikaji, membaca, mencatat dan
menganalisis poin-poin tersebut dengan sumber buku-buku dan artikel ilmiah yang
mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat diklasifikasikan menjadi
identitas budaya, identitas gender, dan akulturasi, asimilasi serta
enkulturasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa identitas budaya timbul sebagai
refleksi yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses
sosialisasi.
KATA KUNCI: identitas
budaya, etnis, gender, sosialisasi.
ABSTRACT
Cultural
identity is a special character that exists in a culture so that it can be
distinguished from each other. The goal of the study is to analyze factors that
affect a cultural identity. This is a qualitative study with literary approach.
Primary data is collected through documentation and secondary data collected
through observation of social situations. The techniques of data-analysis used
include determining of the points which will be studied, read, take notes and
analyze those points with the source of books and scientific articles
supporting them. Research indicators may be classified into cultural identity,
gender identity, acculturation, assimilation and enculturation. This study
shows that cultural identity emerges as a reflection of the family, gender,
culture, ethnicity, and socialization processes.
Keyword: cultural
identity, ethnicity, gender, socialization
A. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan sistem yang meliputi pikiran
manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, budaya merupakan sesuatu
yang abstrak. Tapi, jika kebudayaan ini ditunjukkan kedalam materi, maka sifat
abstrak itu akan tergeser dengan sendirinya. Perwujudan kebudayaan ini bisa
berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
sebagainya. Perwujudan ini penting untuk mempermudah manusia menjalankan
kehidupan-nya.
Budaya muncul
dari manusia sendiri. Ada banyak ragam manusia yang memiliki berbagai prinsip.
Wajar jika budaya sebuah komunitas berbeda satu sama lain. Budaya ini juga
dapat bercampur, melebur bahkan membentuk kebudayaan baru. Semua ini tidak
lepas dari kontribusi yang diberikan manusia.
Banyaknya budaya ini tidak menutup kemungkinan
memunculkan pertikaian. Tidak memahami budaya masing-masing individu membuat
beberapa kelompok menjadi mayoritas dan lainnya minoritas. Padahal, tidak ada
yang salah dari perbedaan ini. Justru budaya yang berbeda menjadikan manusia
sebagai makhluk yang unik. Beberapa kasus pertikaian budaya yang muncul
merupakan bentuk nyata tidak pahamnya manusia pada budaya. Sebut saja Tragedi
Sampit (antara etnis Dayak dan Madura, 2001), Konflik 1998 (antara pribumi
dengan etnis Tionghoa), Konflik Patani (melayu muslim dengan Thai Buddhist),
dan masih banyak lagi.
Demi meminimalkan ke-salahpahaman, perlu rasanya tiap
orang mengetahui identitas budaya. Seluruh pemahaman berasal dari dasar, maka
untuk memahami budaya diperlukan konsep budaya. Budaya tidak muncul begitu
saja, namun setiap aspek kehidupan manusia merefleksikan budaya.
B.
Pembahasan
Identitas mengacu kepada karakter khusus individu
atau anggota satu kelompok atau kategori sosial tertentu. Identitas berasal
dari bahasa Latin idem yang berarti sama. Identitas yang dimiliki
seorang individu dapat berupa identitas personal dan identitas sosial.
Identitas personal dapat berupa ciri fisik sedangkan identitas sosial dapat
meliputi etnis, religi dan kelas sosial. Identitas etnis akan muncul pada
masyarakat yang kompleks, misalnya masyarakat dengan aparatur negara dan kelas
sosial yang berfungsi membagi masyarakat dalam berbagai kategori. Identitas
yang ada pada identitas sosial itu berkaitan dengan identitas budaya.
Menurut Dorais, sebagai-mana dikutip
dari jurnal Bahasa dan Identitas Nasional Budi Santoso (Santoso, 2006, hal. 45) identitas budaya
merupakan kesadaran dasar terhadap karakteristik khusus kelompok yang dimiliki
seseorang dalam hal kebiasaan hidup, adat, bahasa dan lain-lain. Sementara itu,
menurut Kathryn Woodward yang dikutip dari jurnal ilmu komunikasi Muhammad
Rihan Ma’asy (Ma'asy, 2015, hal. 285),
makna dari identitas budaya adalah the (feeling of) identity of a group or
cultural, or fan individual as far as she is influenced by her belonging to a
group or cultural. Faktor identitas dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Sebagai nilai
dan menjaga kedekatan secara emosional pada setiap anggota kelompok;
2.
Identitas
sosial positif sangat penting dalam performance dan produktivitas
kelompok;
3.
Ada persamaan
dengan anggota lain;
4.
Lebih mudah
diajak kerjasama;
5.
Lebih
konformitas (sesuai, cocok) terhadap perilaku dan sikap kelompok.
Setiap manusia memiliki
ciri khas yang melekat pada dirinya (identitas personal). Hal ini membuat
manusia berkumpul pada kelompok tertentu dengan ciri fisik serupa. Mengikuti
ini, identitas sosial ikut terbentuk. Makin lama makin kompleks sehingga
identitas itu mereka turunkan pada anggota kelompok. Masing-masing identitas
ini dipengaruhi oleh sosial mereka. Tak jarang, kegiatan budaya tertentu
dikaitkan dengan ciri tertentu pula, seperti mencuci bersama-sama di tepi
sungai merupakan kebiasaan yang hanya dilakukan wanita saja.
1.
Identitas
Gender dan Konsep Identitas
Identitas gender adalah sampai dimana seseorang sadar
atau mengakui bahwa dirinya mengadopsi peran gender tertentu. Dari identitas
gender ini akan muncul stereotype gender yaitu ciri-ciri perilaku yang
secara khusus diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan (Sarwono, 2015, hal. 107). Stereotip ini tidak
selalu sesuai dengan kenyataan, karena sudah banyak wanita yang melakukan
pekerjaan ‘laki-laki’ maupun sebaliknya. Jika menying-gung gender, tentu tidak
akan lepas dari maskulinitas-feminini-tas. Penelitian Hofstede tentang negara
maskulin dan negara feminin telah memberikan pan-dangan umum mengenai laki-laki
atau perempuan diseluruh dunia. Ia menyebutkan ciri budaya sebagai berikut:
a. Budaya
maskulin-tinggi: sikap moralistik terhadap seks, standar ganda dalam seks,
peran perempuan pasif;
b. Budaya
maskulin-rendah: sikap apa adanya dalam seks, standar tunggal dalam seks,
mendorong perempuan untuk aktif dalam masyarakat;
c. Budaya
maskulin dan feminin berbeda dalam sikap terhadap agama:
1) Maskulin:
tradisional, mengu-tamakan agama, fokus Tuhan atau Dewa/i;
2) Feminin:
tidak terlalu tradisional. Kurang mementingkan agama, fokus pada sesama
manusia.
Ciri tersebut mewakili pendapat kebanyakan individu
terkait gender, walau tidak semuanya sesuai. Adanya per-bedaan keyakinan akan
gender cukup berpengaruh terhadap budaya negara yang bersangkutan. Namun,
keyakinan gender itu sendiri dikendalikan oleh agama. Negara yang agamanya
cukup kuat, akan mempertahankan budaya tradisional, beda dengan negara yang
kepercayaan agama-nya kurang. Budaya mereka lebih berpusat kepada kesetaraan
antara laki-laki dengan perempuan. Per-bedaan ini menghasilkan kebe-ragaman
budaya seperti yang saat ini kita lihat.
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas
adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Stella Ting Toomey menyatakan
identitas sebagai refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga,
gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk
pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri
kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas
sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam
perilaku, keyakinan dan sikap (Maulana).
Stuart Hall mengkaji identitas menjadi tiga konsep subjek yang berbeda, yakni enlightenment
subject, sociological subject, dan post-modern subject (Nasrullah, 2012, hal. 115-118).
a. The
enlightenment subject
The enlightenment subject
diartikan bahwa secara konsep manusia merupakan subjek yang terpusat, individu
yang menyatu, pusat dari segala hal yang menyangkut diri. Pada dasarnya setiap
orang memiliki keinginan didalam dirinya untuk menentukan identitas dirinya dan
bukan kepasrahan untuk menerima identitas diri karena ada yang mendominasi atau
yang berkuasa.
b. Sociological
subject
Sociological subject merupakan
individu yang dihasilkan dari hubungan yang terjadi di wilayah sosial. Subjek
(individu) yang sebelumnya terpusat dan menyatu selanjutnya akan terbagi
sebagai hasil dari perubahan.
c. Post-modern
subject
Post-modern subject, identitas
merupakan definisi yang harus didekati melalui historis dan bukan dengan
pendekatan ilmu biologi. Bagi Hall identitas yang dimiliki oleh diri dan dibawa
sejak dilahirkan sampai mati sebenarnya adalah konstruksi diri kita sendiri
terhadap pemahaman yang me-muaskan diri tersebut.
Terbentuknya identitas
gender, baik disadari maupun tidak menghasilkan keputusan dari diri manusia.
Sosial memper-lakukan seseorang sesuai dengan gendernya, menilai individu
sesuai dengan budaya yang dianut komunitasnya. Walau tidak jarang individu tersebut
‘belok’, me-misahkan diri dari stereotip kelompok, tetap saja sosial bertindak
sesuai dengan keputusan mayoritas. Maka tak heran, individu dengan identitas
gender tertentu akan mengalami konflik kala dirinya merupakan sosok yang paling
‘berbeda’. Padahal, bisa saja perbedaan ini karena dirinya telah bercampur
dengan budaya berbeda, sehingga mau tidak mau ia harus berubah. Entah disadari
maupun tidak.
2.
Konsep
Akulturasi, Asimilasi dan Enkulturasi
Akulturasi adalah pencam-puran dua kebudayaan atau
lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi, atau proses masuk-nya
pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara
selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha
menolak pengaruh itu. Akulturasi juga bisa berarti proses atau hasil pertemuan
kebudayaan atau bahasa diantara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh
peminjaman atau bilingualisme (Kebudayaan, 2008).
Faktor yang mempengaruhi akulturasi ialah (Sihabudin,
2017, hal. 63):
a.
Komunikasi yang
efektif;
b.
Bahasa;
c.
Simbol-simbol;
d. Agar
terjadi interaksi antara individu dalam masyarakat dengan kelompok lain,
sebaiknya pelaku menyusun simbol sesuai dengan frame of reference orang
yang menerima agar dapat menjem-batani hubungan antara dua budaya yang berbeda.
Asimilasi adalah penye-suaian (peleburan) sifat asli yang dimiliki dengan
sifat lingkungan sekitar (Kebudayaan, 2008).
Asimilasi juga berarti suatu adopsi kebudayaan asing. Suatu asimilasi
mengharuskan para imigran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan
yang didatangi (host society). Ini berarti kebudayaan mayoritas yang
di-gunakan untuk mengukur keber-hasilan suatu kelompok atau individu dalam
menyesuaikan dirinya. Frederich E. Lumley menyatakan asimilasi sebagai proses
dimana budaya yang berbeda, individu atau kelompok yang mewakili budaya
berbeda, melebur menjadi suatu kumpulan. Ini berarti asimilasi berlangsung dua
arah. Dengan adanya asimilasi, maka akan muncul kebudayaan baru.
Enkulturasi adalah proses yang bersifat lintas
generasi dan memungkinkan manusia untuk menyampaikan dan belajar tentang
kebudayaannya. Proses enkul-turasi memiliki agen yang ber-peran, yaitu
orangtua, keluarga, teman, tetangga, dan media massa (Sarwono, 2015, hal. 43-44). En-kulturasi ini akan tetap
ber-langsung selama individu me-lakukan interaksi. Individu ber-interaksi
secara dinamis, sehingga bukan hanya enkulturasi saja yang akan terjadi, namun
tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi.
Tiga bentuk percampuran
budaya ini dapat berakhir positif maupun negatif. Sebuah akulturasi akan
mengantarkan pribumi yang dulu kerap memakai kebaya, berubah menjadi gamis dan
jubah. Dilihat dari pandangan agama Islam, tentu ini merupakan perubahan yang
baik. Akan tetapi, jika dilihat dari pandangan umum, dimana Islam dikaitkan
dengan teroris, maka orang awam akan langsung salah paham. Berpikir bahwa orang
bergamis merupakan teroris, sehingga citra individu dan budaya Islam sendiri
dianggap remeh. Tak jarang, sosial mengu-cilkan kelompok hanya karena pakaian
mereka tidak sesuai dengan ‘standar normal’ yang mereka ciptakan.
C. Kesimpulan
Wajar jika manusia memiliki budaya yang beragam.
Budaya itu sendiri muncul dari kebiasaan manusia yang memang tidak selalu sama.
Perbedaan ini menjadikan manusia kaya, bukan hanya materi tapi non-materi juga.
Akan sangat melegakan jika manusia dapat hidup akur, mengabaikan stereotip
negatif yang meliputi suatu budaya. Tentu tingkat perdamaian akan mening-kat,
bukan hanya antar kelompok yang berinteraksi, tapi juga antar Negara dan
manusia.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menilai manusia dari
budaya yang melekat pada tubuhnya saja. Tiap manusia memiliki identitas yang
unik, muncul karena keluar-ga, masyarakat, hasil pemikiran sendiri bahkan
proses sosialisasi. Tidak masalah jika seorang bagian suku di Papua berpakaian
seadanya, orang Korea menjunjung tinggi senioritas, orang Thailand memberi
kesempatan pada gender terpinggir (LGBTQ+) untuk tampil di layar kaca. Semua
itu merupakan perwujudan dari budaya masing-masing individu. Mereka pantas
merasa bangga dengan budayanya, walau dimata orang lain itu merupakan hal yang
aneh. Manusia perlu ingat, budaya memang membentuk seorang individu, namun pada
akhirnya individu itu juga mengatur budaya mereka sendiri.
Daftar
Kepustakaan
Kebudayaan, Departemen Pendidikan. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Ma’asy, Muhammad Rihan. 2015. Komunikasi Antar Budaya Perantau Bugis
dengan Etnis Kutai di Samarinda Seberang. eJournal Ilmu Komunikasi. (Online).
Volume 3, Nomor 4. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id>2015/11. (11 Juli 2020).
Maulana, Irvan Ary. 18 April 2018. Identitas. (Online). https://id.m.wikipedia.org/wiki/Identitas.
(11 Juli 2020).
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber.
Jakarta: Kencana.
Santoso, Budi. 2006. Bahasa dan Identitas Budaya. Sabda: Jurnal
Kajian Kebudayaan. (Online). Volume 1, Nomor 1. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/view/13266.
(11 Juli 2020).
Sarwono, Sarlito W. 2015. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sihabudin,
Ahmad. 2017. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar