Jumat, 17 Juli 2020

[KKN-DR: Produk 5] Identitas Budaya


IDENTITAS BUDAYA
IMRO ATUR RODHIYAH
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum

ABSTRAK
Identitas budaya merupakan karakter khusus yang melekat dalam sebuah budaya sehingga dapat dibedakan satu sama lain. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa faktor yang mempengaruhi sebuah identitas budaya. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data didapatkan secara primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui dokumentasi dan data sekunder dikumpulkan melalui observasi dari situasi sosial. Tenik analisis data yang digunakan berupa menentukan poin yang akan dikaji, membaca, mencatat dan menganalisis poin-poin tersebut dengan sumber buku-buku dan artikel ilmiah yang mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat diklasifikasikan menjadi identitas budaya, identitas gender, dan akulturasi, asimilasi serta enkulturasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa identitas budaya timbul sebagai refleksi yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi.
KATA KUNCI: identitas budaya, etnis, gender, sosialisasi.

ABSTRACT
Cultural identity is a special character that exists in a culture so that it can be distinguished from each other. The goal of the study is to analyze factors that affect a cultural identity. This is a qualitative study with literary approach. Primary data is collected through documentation and secondary data collected through observation of social situations. The techniques of data-analysis used include determining of the points which will be studied, read, take notes and analyze those points with the source of books and scientific articles supporting them. Research indicators may be classified into cultural identity, gender identity, acculturation, assimilation and enculturation. This study shows that cultural identity emerges as a reflection of the family, gender, culture, ethnicity, and socialization processes.
Keyword: cultural identity, ethnicity, gender, socialization




A.    Pendahuluan
Kebudayaan merupakan sistem yang meliputi pikiran manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, budaya merupakan sesuatu yang abstrak. Tapi, jika kebudayaan ini ditunjukkan kedalam materi, maka sifat abstrak itu akan tergeser dengan sendirinya. Perwujudan kebudayaan ini bisa berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan sebagainya. Perwujudan ini penting untuk mempermudah manusia menjalankan kehidupan-nya.
Budaya  muncul dari manusia sendiri. Ada banyak ragam manusia yang memiliki berbagai prinsip. Wajar jika budaya sebuah komunitas berbeda satu sama lain. Budaya ini juga dapat bercampur, melebur bahkan membentuk kebudayaan baru. Semua ini tidak lepas dari kontribusi yang diberikan manusia.
Banyaknya budaya ini tidak menutup kemungkinan memunculkan pertikaian. Tidak memahami budaya masing-masing individu membuat beberapa kelompok menjadi mayoritas dan lainnya minoritas. Padahal, tidak ada yang salah dari perbedaan ini. Justru budaya yang berbeda menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik. Beberapa kasus pertikaian budaya yang muncul merupakan bentuk nyata tidak pahamnya manusia pada budaya. Sebut saja Tragedi Sampit (antara etnis Dayak dan Madura, 2001), Konflik 1998 (antara pribumi dengan etnis Tionghoa), Konflik Patani (melayu muslim dengan Thai Buddhist), dan masih banyak lagi.
Demi meminimalkan ke-salahpahaman, perlu rasanya tiap orang mengetahui identitas budaya. Seluruh pemahaman berasal dari dasar, maka untuk memahami budaya diperlukan konsep budaya. Budaya tidak muncul begitu saja, namun setiap aspek kehidupan manusia merefleksikan budaya.
B.     Pembahasan
Identitas mengacu kepada karakter khusus individu atau anggota satu kelompok atau kategori sosial tertentu. Identitas berasal dari bahasa Latin idem yang berarti sama. Identitas yang dimiliki seorang individu dapat berupa identitas personal dan identitas sosial. Identitas personal dapat berupa ciri fisik sedangkan identitas sosial dapat meliputi etnis, religi dan kelas sosial. Identitas etnis akan muncul pada masyarakat yang kompleks, misalnya masyarakat dengan aparatur negara dan kelas sosial yang berfungsi membagi masyarakat dalam berbagai kategori. Identitas yang ada pada identitas sosial itu berkaitan dengan identitas budaya.
Menurut Dorais, sebagai-mana dikutip dari jurnal Bahasa dan Identitas Nasional Budi Santoso (Santoso, 2006, hal. 45) identitas budaya merupakan kesadaran dasar terhadap karakteristik khusus kelompok yang dimiliki seseorang dalam hal kebiasaan hidup, adat, bahasa dan lain-lain. Sementara itu, menurut Kathryn Woodward yang dikutip dari jurnal ilmu komunikasi Muhammad Rihan Ma’asy (Ma'asy, 2015, hal. 285), makna dari identitas budaya adalah the (feeling of) identity of a group or cultural, or fan individual as far as she is influenced by her belonging to a group or cultural. Faktor identitas dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Sebagai nilai dan menjaga kedekatan secara emosional pada setiap anggota kelompok;
2.      Identitas sosial positif sangat penting dalam performance dan produktivitas kelompok;
3.      Ada persamaan dengan anggota lain;
4.      Lebih mudah diajak kerjasama;
5.      Lebih konformitas (sesuai, cocok) terhadap perilaku dan sikap kelompok.
Setiap manusia memiliki ciri khas yang melekat pada dirinya (identitas personal). Hal ini membuat manusia berkumpul pada kelompok tertentu dengan ciri fisik serupa. Mengikuti ini, identitas sosial ikut terbentuk. Makin lama makin kompleks sehingga identitas itu mereka turunkan pada anggota kelompok. Masing-masing identitas ini dipengaruhi oleh sosial mereka. Tak jarang, kegiatan budaya tertentu dikaitkan dengan ciri tertentu pula, seperti mencuci bersama-sama di tepi sungai merupakan kebiasaan yang hanya dilakukan wanita saja.
1.      Identitas Gender dan Konsep Identitas
Identitas gender adalah sampai dimana seseorang sadar atau mengakui bahwa dirinya mengadopsi peran gender tertentu. Dari identitas gender ini akan muncul stereotype gender yaitu ciri-ciri perilaku yang secara khusus diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan (Sarwono, 2015, hal. 107). Stereotip ini tidak selalu sesuai dengan kenyataan, karena sudah banyak wanita yang melakukan pekerjaan ‘laki-laki’ maupun sebaliknya. Jika menying-gung gender, tentu tidak akan lepas dari maskulinitas-feminini-tas. Penelitian Hofstede tentang negara maskulin dan negara feminin telah memberikan pan-dangan umum mengenai laki-laki atau perempuan diseluruh dunia. Ia menyebutkan ciri budaya sebagai berikut:
a.  Budaya maskulin-tinggi: sikap moralistik terhadap seks, standar ganda dalam seks, peran perempuan pasif;
b.    Budaya maskulin-rendah: sikap apa adanya dalam seks, standar tunggal dalam seks, mendorong perempuan untuk aktif dalam masyarakat;
c.     Budaya maskulin dan feminin berbeda dalam sikap terhadap agama:
1)    Maskulin: tradisional, mengu-tamakan agama, fokus Tuhan atau Dewa/i;
2)    Feminin: tidak terlalu tradisional. Kurang mementingkan agama, fokus pada sesama manusia.
Ciri tersebut mewakili pendapat kebanyakan individu terkait gender, walau tidak semuanya sesuai. Adanya per-bedaan keyakinan akan gender cukup berpengaruh terhadap budaya negara yang bersangkutan. Namun, keyakinan gender itu sendiri dikendalikan oleh agama. Negara yang agamanya cukup kuat, akan mempertahankan budaya tradisional, beda dengan negara yang kepercayaan agama-nya kurang. Budaya mereka lebih berpusat kepada kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Per-bedaan ini menghasilkan kebe-ragaman budaya seperti yang saat ini kita lihat.
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Stella Ting Toomey menyatakan identitas sebagai refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap (Maulana). Stuart Hall mengkaji identitas menjadi tiga konsep subjek yang berbeda, yakni enlightenment subject, sociological subject, dan post-modern subject (Nasrullah, 2012, hal. 115-118).
a.       The enlightenment subject
The enlightenment subject diartikan bahwa secara konsep manusia merupakan subjek yang terpusat, individu yang menyatu, pusat dari segala hal yang menyangkut diri. Pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan didalam dirinya untuk menentukan identitas dirinya dan bukan kepasrahan untuk menerima identitas diri karena ada yang mendominasi atau yang berkuasa.
b.      Sociological subject
Sociological subject merupakan individu yang dihasilkan dari hubungan yang terjadi di wilayah sosial. Subjek (individu) yang sebelumnya terpusat dan menyatu selanjutnya akan terbagi sebagai hasil dari perubahan.
c.       Post-modern subject
Post-modern subject, identitas merupakan definisi yang harus didekati melalui historis dan bukan dengan pendekatan ilmu biologi. Bagi Hall identitas yang dimiliki oleh diri dan dibawa sejak dilahirkan sampai mati sebenarnya adalah konstruksi diri kita sendiri terhadap pemahaman yang me-muaskan diri tersebut.
Terbentuknya identitas gender, baik disadari maupun tidak menghasilkan keputusan dari diri manusia. Sosial memper-lakukan seseorang sesuai dengan gendernya, menilai individu sesuai dengan budaya yang dianut komunitasnya. Walau tidak jarang individu tersebut ‘belok’, me-misahkan diri dari stereotip kelompok, tetap saja sosial bertindak sesuai dengan keputusan mayoritas. Maka tak heran, individu dengan identitas gender tertentu akan mengalami konflik kala dirinya merupakan sosok yang paling ‘berbeda’. Padahal, bisa saja perbedaan ini karena dirinya telah bercampur dengan budaya berbeda, sehingga mau tidak mau ia harus berubah. Entah disadari maupun tidak.
2.      Konsep Akulturasi, Asimilasi dan Enkulturasi
Akulturasi adalah pencam-puran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi, atau proses masuk-nya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu. Akulturasi juga bisa berarti proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa diantara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme (Kebudayaan, 2008). Faktor yang mempengaruhi akulturasi ialah (Sihabudin, 2017, hal. 63):
a.       Komunikasi yang efektif;
b.      Bahasa;
c.       Simbol-simbol;
d.      Agar terjadi interaksi antara individu dalam masyarakat dengan kelompok lain, sebaiknya pelaku menyusun simbol sesuai dengan frame of reference orang yang menerima agar dapat menjem-batani hubungan antara dua budaya yang berbeda.
Asimilasi adalah penye-suaian (peleburan) sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar (Kebudayaan, 2008). Asimilasi juga berarti suatu adopsi kebudayaan asing. Suatu asimilasi mengharuskan para imigran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti kebudayaan mayoritas yang di-gunakan untuk mengukur keber-hasilan suatu kelompok atau individu dalam menyesuaikan dirinya. Frederich E. Lumley menyatakan asimilasi sebagai proses dimana budaya yang berbeda, individu atau kelompok yang mewakili budaya berbeda, melebur menjadi suatu kumpulan. Ini berarti asimilasi berlangsung dua arah. Dengan adanya asimilasi, maka akan muncul kebudayaan baru.
Enkulturasi adalah proses yang bersifat lintas generasi dan memungkinkan manusia untuk menyampaikan dan belajar tentang kebudayaannya. Proses enkul-turasi memiliki agen yang ber-peran, yaitu orangtua, keluarga, teman, tetangga, dan media massa (Sarwono, 2015, hal. 43-44). En-kulturasi ini akan tetap ber-langsung selama individu me-lakukan interaksi. Individu ber-interaksi secara dinamis, sehingga bukan hanya enkulturasi saja yang akan terjadi, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi.
Tiga bentuk percampuran budaya ini dapat berakhir positif maupun negatif. Sebuah akulturasi akan mengantarkan pribumi yang dulu kerap memakai kebaya, berubah menjadi gamis dan jubah. Dilihat dari pandangan agama Islam, tentu ini merupakan perubahan yang baik. Akan tetapi, jika dilihat dari pandangan umum, dimana Islam dikaitkan dengan teroris, maka orang awam akan langsung salah paham. Berpikir bahwa orang bergamis merupakan teroris, sehingga citra individu dan budaya Islam sendiri dianggap remeh. Tak jarang, sosial mengu-cilkan kelompok hanya karena pakaian mereka tidak sesuai dengan ‘standar normal’ yang mereka ciptakan.
C.    Kesimpulan
Wajar jika manusia memiliki budaya yang beragam. Budaya itu sendiri muncul dari kebiasaan manusia yang memang tidak selalu sama. Perbedaan ini menjadikan manusia kaya, bukan hanya materi tapi non-materi juga. Akan sangat melegakan jika manusia dapat hidup akur, mengabaikan stereotip negatif yang meliputi suatu budaya. Tentu tingkat perdamaian akan mening-kat, bukan hanya antar kelompok yang berinteraksi, tapi juga antar Negara dan manusia.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menilai manusia dari budaya yang melekat pada tubuhnya saja. Tiap manusia memiliki identitas yang unik, muncul karena keluar-ga, masyarakat, hasil pemikiran sendiri bahkan proses sosialisasi. Tidak masalah jika seorang bagian suku di Papua berpakaian seadanya, orang Korea menjunjung tinggi senioritas, orang Thailand memberi kesempatan pada gender terpinggir (LGBTQ+) untuk tampil di layar kaca. Semua itu merupakan perwujudan dari budaya masing-masing individu. Mereka pantas merasa bangga dengan budayanya, walau dimata orang lain itu merupakan hal yang aneh. Manusia perlu ingat, budaya memang membentuk seorang individu, namun pada akhirnya individu itu juga mengatur budaya mereka sendiri.
Daftar Kepustakaan
Kebudayaan, Departemen Pendidikan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Ma’asy, Muhammad Rihan. 2015. Komunikasi Antar Budaya Perantau Bugis dengan Etnis Kutai di Samarinda Seberang. eJournal Ilmu Komunikasi. (Online). Volume 3, Nomor 4. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id>2015/11. (11 Juli 2020).
Maulana, Irvan Ary. 18 April 2018. Identitas. (Online). https://id.m.wikipedia.org/wiki/Identitas. (11 Juli 2020).
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya: Di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana.
Santoso, Budi. 2006. Bahasa dan Identitas Budaya. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan. (Online). Volume 1, Nomor 1. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/view/13266. (11 Juli 2020).
Sarwono, Sarlito W. 2015. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. 
Sihabudin, Ahmad. 2017. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar