Sejak
terjadinya wabah covid-19, banyak timbul kericuhan dimasyarakat. Entah
aturannya, kondisinya, efeknya, maupun cara menyikapinya. Banyak sekali
kesulitan yang dialami manusia, baik kaya maupun miskin, muda maupun tua,
muslim maupun bukan. Hal yang cukup ribut
dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan ibadah berjamaah di masjid.
Mewabahnya covid-19 berbarengan
dengan masuknya bulan Ramadhan. Antisipasi yang lumayan lambat, simpang-siurnya
informasi serta ketidakpercayaan masyarakat akan media dan pemerintah
menyebabkan pertikaian, salah satunya di wilayah Sijangek, Batusangkar.
Berdasarkan aturan pemerintah dan himbauan MUI kala itu (Fatwa No. 14 Tahun
2020-Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19), maka untuk
wilayah dengan tingkat paparan covid-19 rendah, sebisa mungkin melaksanakan
ibadah dengan normal. Tentu, mesti mengikuti aturan seperti mencuci tangan,
membawa sajadah sendiri, menggunakan masker dan menghindari kontak fisik.
Sayang sekali, terjadi kesalahan dalam penerimaan informasi di wilayah ini. Salah satunya, pengurus mushalla setempat melarang pelaksanaan ibadah berjamaah, termasuk dalam mengumandangkan azan karena akan menarik jamaah datang ke masjid. Memang, dari tiga tempat ibadah pusat di wilayah Sijangek, satu tempat saja yang sampai melarang azan. Hal inilah yang menjadi pemicu salah paham antar masyarakat.
Sayang sekali, terjadi kesalahan dalam penerimaan informasi di wilayah ini. Salah satunya, pengurus mushalla setempat melarang pelaksanaan ibadah berjamaah, termasuk dalam mengumandangkan azan karena akan menarik jamaah datang ke masjid. Memang, dari tiga tempat ibadah pusat di wilayah Sijangek, satu tempat saja yang sampai melarang azan. Hal inilah yang menjadi pemicu salah paham antar masyarakat.
Beruntung, kesalahpahaman tersebut sudah diselesaikan. Sekarang, ibadah berjalan seperti biasanya. Azan tetap berkumandang, jamaah tetap datang, shalat tetap berlangsung. Cara menyikapi informasi inilah yang sangat disayangkan. Masih banyak dari masyarakat yang menerima informasi tanpa melakukan cek kembali, tanpa memahami dengan menyeluruh, tanpa mendengarkan keseluruhan.
Ibadah jamaah merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh umat. Hukumnya berbeda-beda, lihat situasi, kondisi, serta menggunakan mazhab yang mana. Untuk shalat berjamaah lima waktu, misalnya. Antara laki-laki dan perempuan berbeda hukum yang digunakan, tergantung mazhab dan kepercayaan dari jamaah itu sendiri. Jadi, tidak salah sebenarnya jika dalam kondisi wabah seperti sekarang, terjadi perbedaan pendapat. Saat kondisi biasa saja sudah banyak bedanya, apalagi dalam kondisi khusus seperti sekarang.
Akan tetapi, dalam menyikapi perbedaan itu, diperlukan pemikiran yang dingin dan tidak berat sebelah. Perlu dilihat pula keputusan ulama, pemerintah yang berwenang, pendapat pihak yang lebih memahami dari kita. Sejatinya, manusia memiliki keterbatasan dalam menyerap ilmu, jadi jika bertemu dengan orang yang lebih paham, maka kepadanyalah kita bertanya.
Penyerapan informasi, baik dari media maupun dari sumber lainnya, membutuhkan penjagaan ketat dari diri individu. Agaknya, minim penjagaan inilah yang menjadi sumber salah paham. Penjagaan yang dimaksud berupa memilah informasi, membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya, mengecek ulang kebenaran, menyeleksi informasi yang dirasa janggal, serta memahami bahwa jika info yang beredar tidak sesuai dengan pemahaman, maka bukan berarti kita harus menentang atau menerima info tersebut. Kebanyakan masyarakat masa ini sangat minim dalam penjagaan informasi. Ditambah dengan kondisi khalayak yang malas membaca, mereka lebih senang menerima info dari cerita orang daripada mencarinya sendiri.
Oleh sebab itu, jemaah yang akan melaksanakan ibadah berjamaah perlu lebih kritis lagi. Jangan terpaku kepada yang dikabarkan orang, tapi enggan mengecek benar atau tidaknya. Dimasa pandemi ini, banyak yang bisa dilakukan agar ibadah berjalan lancar. Beberapa hal yang dapat dicoba: 1) setiap orang memeriksa kebenaran informasi melalui situs resmi dan terpercaya, seperti fatwa MUI melalui website resminya, berita melalui koran, dan lain-lain; 2) berdiskusi mengenai jalan keluar permasalahan dengan kepala dingin, tanpa ego dan mencari solusi paling baik untuk jemaah; 3) menyampaikan informasi kepada jemaah dengan jelas, ringkas dan tidak merubah makna pesan; 4) membersihkan masjid secara rutin untuk menjaga kebersihan 5) menyediakan sabun cuci tangan agar jemaah dapat mencuci tangan sebelum masuk ke masjid; 6) membawa sajadah dari rumah masing-masing; 7) menggunakan masker sesuai anjuran kesehatan dan pemerintah; 8) tidak memaksa kehendak dan menghindari perselisihan.
Harapannya, dengan penerapaan hal-hal diatas, kita bukan hanya bisa menjalankan ibadah dengan baik seperti sedia kala, namun juga dapat meminimalkan konflik yang mungkin timbul. Komunikasi adalah kunci suksesnya hubungan. Jangan sampai karena komunikasi yang minim, rusak pula hubungan sesama manusia kita. Apalagi jika berkaitan dengan hubungan kepada Allah, jangan sampai hancur. Seimbangkan antara keduanya, karena ibadah jemaah bukan hanya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, namun juga antar hamba-Nya. (iar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar