Senin, 22 Juni 2020

[KKN-DR: Produk 3] Covid Tidak Berbahaya: Pertentangan Nakes dan Bandelnya Masyarakat

Covid dan segala isunya. Siapa yang tidak tahu penyakit membingungkan ini. Satu pihak menyalahkan covid sebagai penyebab hancurnya ekonomi, satu lagi merisaukan kegiatan yang tidak berjalan normal. Lebih parah lagi, satunya bersikap tidak peduli, menganggap virus ini hanyalah penyakit biasa yang tidak lebih penting dari makan apa esok hari.

Memang, tidak salah jika yang dibicarakan adalah covid saja. Tapi, tahukah anda semua, bahwa covid itu banyak macamnya? Covid (corona virus disease) memiliki banyak jenis karena si virus selalu bermutasi, menjadi ganas semakin bertambah hari. Awalnya hanya penyebab flu biasa, berubah menjadi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-Cov) bawaan kelelawar. Beralih sedikit, datang lagi Middle East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) dari unta. Terbaru, muncullah 2019-ncov (2019 novel corona virus) yang pindah-pindah. Dari kelelwar menyerang ular, hinggap di manusia karena rakus sekali mencoba hewan liar.
Hingga kini, belum ditemukan vaksin dari SARS dan MERS, padahal mereka sama berbahaya untuk manusia. Saat muncul dulu, apakah manusia panik? Tentu. Saya masih ingat, beberapa kali ibadah haji dan umrah terganggu MERS. Apakah sampai lockdown? Tidak. Manusia jauh lebih santai menanggapi. Istilah kasarnya, itu urusan orang yang terjangkit. Buat apa yang lain repot. Sekarang covid-19 terjadi, manusia masih saja ada yang berleha-leha, menganggap “ini hanya propaganda”. Astaga.
Tidak seperti dua saudaranya, covid-19 ini versi baru. Lebih ganas, lebih berbahaya. Ibarat pesan instan, versi satu hanya bisa krim teks, versi dua bisa kirim gambar, versi tiga bisa kirim gambar dan suara, masuk versi empat bisa kirim gambar, teks, suara, video, sampai dokumen. Begitupula covid ini. Versi satu hanya sebabkan flu, versi dua menyerang manusia setelah kontak dengan kelelawar, versi tiga menyerang manusia setelah kontak dengan unta, sekarang versi empat menyerang setelah kontak dengan apa saja. Ganas, bukan?
Mirisnya, masih saja ada orang yang pintar cari kesempatan. Teori-teori konspirasi terkait covid-19 tersebar bebas di youtube. Katanya hanya main-main, lah. Propaganda yahudi, lah. Pengalihan isu, tidak berbahaya, tidak membunuh, bawaan setan (nah, loh), sebenarnya tidak ada covid-19 sama sekali. Saya penasaran, itu logikanya sampai batas mana kok buat pernyataan tanpa pertimbangan. Jauh lebih menyakiti hati, ada beberapa nakes yang memberikan pernyataan bertentangan satu sama lain. Masyarakat yang memang sudah pecah belah, ada percaya, ada juga menyalahkan pemerintah. Lebih lagi, menyalahkan media massa. Aduh.
Begini, loh. Kalau memang covid-19 tidak berbahaya, kenapa statusnya gawat global? Ini seluruh negara di dunia kocar-kacir, loh, menghadapinya. Tapi katanya cuma bercanda. Jadi, puluhan negara itu lagi bercanda ramai-ramai, maksudnya? Kalau memang covid-19 ini tidak membahayakan, kenapa penerbangan dibatalkan, negara di karantina, petugas kesehatan baris depan tidak pulang ke rumah, dokter dan peneliti ahli sibuk mengetes vaksin, sampai Masjidil Haram sempat tutup. Bercanda apa kalau begini.
Muncul lagi pernyataan, bahwa WHO adalah bawahan Yahudi, karena bergerak sebagai bentuk konspirasi kalangan elit. Waduh, bahasannya tinggi sekali. Pecinta teori konspirasi elit global jika berhadapan dengan ini sih, wajar-wajar saja. Tapi, disaat genting begini konspirasinya malah digemborkan, yang ada hanya menimbulkan kepanikan. Pengguna youtube bukan seluruhnya orang berpendidikan. Pengguna youtube tidak seluruhnya kritis dalam mengolah konten. Akibatnya, banyak orang awam yang angguk-angguk saja jika disebut WHO tidak berjuang demi kesehatan dunia.
Keluarga dekat saya, contohnya. Sejak berlakunya PSBB di Indonesia, mencak-mencak sendiri, menyalahkan pemerintah dan WHO. Saya sudah jelaskan, bahwa kondisi ini bukan konpirasi, bukan main-main, bukan ajang menggulingkan kekuasaan, bukan pula ajang saling menjatuhkan agama. Tapi, apa daya. Saya tidak didengar. Kamu tuh masih kecil, belum mengerti dunia. Sabar…
Begini, loh. Kalau memang WHO ini tidak peduli dengan kesehatan dunia, kenapa mereka repot-repot berusaha memusnahkan variola (cacar) yang sukses pada 1980? Kenapa mereka berusaha keras meningkatkan kesehatan di negara berpandemi? Kenapa mereka repot menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai? Simpel, WHO isinya dokter dan tenaga kesehatan. Mereka semua disumpah untuk selalu berusaha yang terbaik demi kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Tidak peduli agama, jika sudah menyangkut kesehatan aturannya tentu berbeda. Mau mereka muslim, kristiani, yahudi, sumpah petugas kesehatan itu tidak main-main.
Jadi, kondisi sekarang jangan dibuat ribut. Jangan dimanfaatkan untuk menyerang satu pihak. Padahal sebelum covid-19, konspirasi ini sudah ada, tapi manusia tidak peduli. Sekarang setelah pandemi, malah dinaikkan namanya. Kusus lingkungan saya, banyak yang melanggar protokol kesehatan. Pakai masker kalau dilihat polisi saja. Cuci tangan sesukanya. Mau sehat tapi kok pilih-pilih.
Pada 10 Juni 2020, tercatat sudah ada 34.316 kasus konfirmasi covid, dimana 1.959 diantaranya meninggal dunia. Jika hanya dilihat sekedar angka biasa, tentu kasus ini tidaklah seberapa. Tapi jika dilihat dari pesebaran wilayahnya, hampir sebagian besar kaus terjadi di daerah Jawa, dimana DKI Jakarta sebagai penyumbang kasus terbanyak, 8.503 kasus. Melonjaknya kasus covid ini dibarengi sikap warganya yang tidak menuruti aturan. Terbukti, menjelang lebaran bulan Mei lalu, pusat perbelanjaan diserobot oleh pengujung. Pakai masker? Ada. Tapi social distancingnya? Wuih, jangankan itu, jarak untuk bergerak antar lantai saja langka.
Merujuk terbitan merdeka.com (20 Mei 2020), seketika saya merasa miris. Harusnya, jika kita pakai pertimbangan stereotip, orang kota besar itu lebih patuh dong, dari wilayah kecil seperti kita. Ini malah sebaliknya. Walau kita masuk zona hijau alias bisa disebut aman, tapi perihal himbauan tinggal di rumah dan masker cukup terpenuhi. Buktinya saja saat lebaran tidak bertumpuk seperti dulu. Cukup sulit megharapkan kesembuhan dan kembalinya kegiatan seperti semula, jika orang-orang menolak untuk bekerja sama.
Jika mau belajar, kita bisa mencontoh Jepang. Duh, tapi Jepang ‘kan negara maju, mana bisa penerapannya sama dengan Indonesia? Nah, itu pemikiran yang tidak tepat. Untuk mendapatkan hasil terbaik, tentu berpedoman kepada hal baik pula. Ambil baik, buang buruknya. Contoh suksesnya, sesuaikan dengan kebutuhan kita. Kakak saya yang saat ini tinggal di Jepang menjadi saksi, betapa patuh warganya. Diminta pakai masker, laksanakan. Diminta tidak keluar jika tidak butuh, laksanakan. Masyarakatnya percaya kepada pemerintah dan media, tidak menutup mata atau menciptakan bahasan baru ditengah polemik yang ada. Tidak heran, walau tidak menerapkan lockdown dan pembatasan sosial, sikap tanggap pemerintah dan patuh warga negaranya membantu penurunan kasus.
Tercatat, pada 3 Mei 2020 terdapat 294 kasus, namun pada 14 Juni 2020 lalu menjadi 47 kasus saja. Untuk total keseluruhan, ada 18.110 kasus konfirmasi dan 968 kasus meninggal dunia. Sungguh berbeda jauh dengan Indonesia. Eits, tapi Indonesia ‘kan padat, beda sama Jepang. Memang, jika kita fokus kepada perbandingan angka, tidak akan selesai. Hal yang dapat kita perhatikan ialah, bagaimana cara mereka menurunkan angka pesebaran sepesat itu tanpa banyak aturan?
Tentu, berkaitan dengan artikel PHBS sebelumnya, orang Jepang sangat sadar kebersihan. Mereka tidak buang sampah sembarangan, bersih dari fasilitas umum hingga pribadi. Indonesia? Hmm. Intinya, kalau mau sehat, terapkan pola hidup yang bersih dan sehat pula. Normalnya, penyakit datang dari kekotoran. Jika yang non-normal seperti covid-19 bisa datang dari segala arah, apa salahnya mencegah penyebaran lebih luas?
Sebenarnya masih banyak negara lain yang bisa dijadikan contoh. Berhubung saya mendapat sumber dari penghuni Jepang sendiri—kakak saya—jadi saya sedikit lebih percaya dengan kemampuan mereka mengatasi masalah. Sikap tanggap pemerintah, ketenangan warga negara, kepercayaan terhadap media. Semuanya membuat saya berharap, Indonesia dapat menerapkan hal yang sama. Terlebih penduduk kita cukup padat, namun kesadaran atas kebersihan dan kepercayaan terhadap media sangat minim sekali. Akan sulit untuk kita mempraktekkan seperti Jepang, tapi jika tidak ada yang mencoba, siapa tahu, bukan?
Selain itu, saya juga berharap tidak ada pertentangan antar sesama nakes. Awal-awal covid-19, banyak dokter dari berbagai spesialisasi memberikan pendapat. Simpang siur, tapi yang membuat saya paling bingung itu mengenai pernyataan drh. Indro Cahyono. Gelarnya saja jelas, ya, dokter hewan. Jadi waktu dia buat pernyataan saya agak bingung, kok bisa. Cari-cari, ternyata dia vaksinolog bagian hewan, tapi belum ada sertifikasinya. Bukannya meremehkan, sayapun mengerti maksudnya adalah meredakan kepanikan masyarakat. Tapi akan lebih baik lagi, jika dia tidak memberikan pernyataan yang bertentangan dengan kesepakatan umum para dokter. Banyak masyarakat yang lebih percaya pada pernyataan dia dibandingkan pernyataan vaksinolog manusia, seperti Dirga Sakti Rambe.
Berhubung Indonesia adalah negara yang tidak kritis, minim membaca banyak julidnya, mereka cenderung melihat sesuatu diawal saja tanpa mencerna kebenaran, terjadilah perpecahan. Untuk daerah saya sendiri, terpecah menjadi: 1) warga yang tidak percaya covid-19 ada serta tidak pakai masker; 2) tidak percaya covid-19 tapi pakai masker biar tidak dirazia polisi; 3) percaya ada covid-19, pakai masker, tetap keluar rumah tapi menolak ke masjid. Melihat ini, saya merasa cukup dilema. Jika saja kita semua tanggap, satu suara dan tidak pecah belah, maka menghadapi pandemi ini tidaklah sulit.
Patuh, kritis dan memahami, merupakan harapan yang perlu kita penuhi. Menghadapi persoalan bersama tentu membutuhkan kerja sama pula. Jangan bandel, membuat ricuh, bahkan sampai berkonspirasi. Tahan dulu kepentingan pribadi. Meskipun kepercayaan kita sedang diuji, masing-masing masyarakat harus mulai berbenah diri. Jangan mudah termakan ‘berita’, apalagi yang berasal dari dunia maya. Semoga persoalan ini cepat berakhir, agar kita bisa menjalani kehidupan yang benar-benar normal. (iar)

1 komentar: