Covid dan segala isunya. Siapa yang
tidak tahu penyakit membingungkan ini. Satu pihak menyalahkan covid sebagai
penyebab hancurnya ekonomi, satu lagi merisaukan kegiatan yang tidak berjalan
normal. Lebih parah lagi, satunya bersikap tidak peduli, menganggap virus ini
hanyalah penyakit biasa yang tidak lebih penting dari makan apa esok hari.
Memang, tidak salah jika yang
dibicarakan adalah covid saja. Tapi, tahukah anda semua, bahwa covid itu banyak
macamnya? Covid (corona virus disease) memiliki banyak jenis karena si virus
selalu bermutasi, menjadi ganas semakin bertambah hari. Awalnya hanya penyebab
flu biasa, berubah menjadi Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS-Cov) bawaan kelelawar. Beralih sedikit, datang
lagi Middle East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) dari unta.
Terbaru, muncullah 2019-ncov (2019 novel corona virus) yang pindah-pindah. Dari
kelelwar menyerang ular, hinggap di manusia karena rakus sekali mencoba hewan
liar.
Hingga kini, belum ditemukan vaksin dari SARS dan MERS,
padahal mereka sama berbahaya untuk manusia. Saat muncul dulu, apakah manusia
panik? Tentu. Saya masih ingat, beberapa kali ibadah haji dan umrah terganggu
MERS. Apakah sampai lockdown? Tidak. Manusia jauh lebih santai menanggapi.
Istilah kasarnya, itu urusan orang yang terjangkit. Buat apa yang lain repot.
Sekarang covid-19 terjadi, manusia masih saja ada yang berleha-leha, menganggap
“ini hanya propaganda”. Astaga.
Tidak seperti dua saudaranya, covid-19 ini versi baru. Lebih
ganas, lebih berbahaya. Ibarat pesan instan, versi satu hanya bisa krim teks,
versi dua bisa kirim gambar, versi tiga bisa kirim gambar dan suara, masuk
versi empat bisa kirim gambar, teks, suara, video, sampai dokumen. Begitupula
covid ini. Versi satu hanya sebabkan flu, versi dua menyerang manusia setelah
kontak dengan kelelawar, versi tiga menyerang manusia setelah kontak dengan
unta, sekarang versi empat menyerang setelah kontak dengan apa saja. Ganas,
bukan?
Mirisnya, masih saja ada orang
yang pintar cari kesempatan. Teori-teori konspirasi terkait covid-19 tersebar
bebas di youtube. Katanya hanya main-main, lah. Propaganda yahudi, lah.
Pengalihan isu, tidak berbahaya, tidak membunuh, bawaan setan (nah, loh),
sebenarnya tidak ada covid-19 sama sekali. Saya penasaran, itu logikanya sampai
batas mana kok buat pernyataan tanpa pertimbangan. Jauh lebih menyakiti hati,
ada beberapa nakes yang memberikan pernyataan bertentangan satu sama lain.
Masyarakat yang memang sudah pecah belah, ada percaya, ada juga menyalahkan
pemerintah. Lebih lagi, menyalahkan media massa. Aduh.
Begini, loh. Kalau memang
covid-19 tidak berbahaya, kenapa statusnya gawat global? Ini seluruh negara di
dunia kocar-kacir, loh, menghadapinya. Tapi katanya cuma bercanda. Jadi,
puluhan negara itu lagi bercanda ramai-ramai, maksudnya? Kalau memang covid-19
ini tidak membahayakan, kenapa penerbangan dibatalkan, negara di karantina,
petugas kesehatan baris depan tidak pulang ke rumah, dokter dan peneliti ahli
sibuk mengetes vaksin, sampai Masjidil Haram sempat tutup. Bercanda apa kalau
begini.
Muncul lagi pernyataan, bahwa
WHO adalah bawahan Yahudi, karena bergerak sebagai bentuk konspirasi kalangan
elit. Waduh, bahasannya tinggi sekali. Pecinta teori konspirasi elit global
jika berhadapan dengan ini sih, wajar-wajar saja. Tapi, disaat genting begini
konspirasinya malah digemborkan, yang ada hanya menimbulkan kepanikan. Pengguna
youtube bukan seluruhnya orang berpendidikan. Pengguna youtube tidak seluruhnya
kritis dalam mengolah konten. Akibatnya, banyak orang awam yang angguk-angguk
saja jika disebut WHO tidak berjuang demi kesehatan dunia.
Keluarga dekat saya, contohnya.
Sejak berlakunya PSBB di Indonesia, mencak-mencak sendiri, menyalahkan
pemerintah dan WHO. Saya sudah jelaskan, bahwa kondisi ini bukan konpirasi,
bukan main-main, bukan ajang menggulingkan kekuasaan, bukan pula ajang saling menjatuhkan
agama. Tapi, apa daya. Saya tidak didengar. Kamu
tuh masih kecil, belum mengerti dunia. Sabar…
Begini, loh. Kalau memang WHO
ini tidak peduli dengan kesehatan dunia, kenapa mereka repot-repot berusaha
memusnahkan variola (cacar) yang sukses pada 1980? Kenapa mereka berusaha keras
meningkatkan kesehatan di negara berpandemi? Kenapa mereka repot menyediakan
fasilitas kesehatan yang memadai? Simpel, WHO isinya dokter dan tenaga
kesehatan. Mereka semua disumpah untuk selalu berusaha yang terbaik demi
kesehatan manusia dan makhluk lainnya. Tidak peduli agama, jika sudah
menyangkut kesehatan aturannya tentu berbeda. Mau mereka muslim, kristiani,
yahudi, sumpah petugas kesehatan itu tidak main-main.
Jadi, kondisi sekarang jangan
dibuat ribut. Jangan dimanfaatkan untuk menyerang satu pihak. Padahal sebelum
covid-19, konspirasi ini sudah ada, tapi manusia tidak peduli. Sekarang setelah
pandemi, malah dinaikkan namanya. Kusus lingkungan saya, banyak yang melanggar
protokol kesehatan. Pakai masker kalau dilihat polisi saja. Cuci tangan
sesukanya. Mau sehat tapi kok pilih-pilih.
Pada 10 Juni 2020, tercatat
sudah ada 34.316 kasus konfirmasi covid, dimana 1.959 diantaranya meninggal
dunia. Jika hanya dilihat sekedar angka biasa, tentu kasus ini tidaklah
seberapa. Tapi jika dilihat dari pesebaran wilayahnya, hampir sebagian besar
kaus terjadi di daerah Jawa, dimana DKI Jakarta sebagai penyumbang kasus
terbanyak, 8.503 kasus. Melonjaknya kasus covid ini dibarengi sikap warganya
yang tidak menuruti aturan. Terbukti, menjelang lebaran bulan Mei lalu, pusat
perbelanjaan diserobot oleh pengujung. Pakai masker? Ada. Tapi social distancingnya? Wuih, jangankan
itu, jarak untuk bergerak antar lantai saja langka.
Merujuk terbitan merdeka.com (20
Mei 2020), seketika saya merasa miris. Harusnya, jika kita pakai pertimbangan
stereotip, orang kota besar itu lebih patuh dong, dari wilayah kecil seperti
kita. Ini malah sebaliknya. Walau kita masuk zona hijau alias bisa disebut
aman, tapi perihal himbauan tinggal di rumah dan masker cukup terpenuhi.
Buktinya saja saat lebaran tidak bertumpuk seperti dulu. Cukup sulit
megharapkan kesembuhan dan kembalinya kegiatan seperti semula, jika orang-orang
menolak untuk bekerja sama.
Jika mau belajar, kita bisa
mencontoh Jepang. Duh, tapi Jepang ‘kan negara maju, mana bisa penerapannya
sama dengan Indonesia? Nah, itu pemikiran yang tidak tepat. Untuk mendapatkan
hasil terbaik, tentu berpedoman kepada hal baik pula. Ambil baik, buang
buruknya. Contoh suksesnya, sesuaikan dengan kebutuhan kita. Kakak saya yang
saat ini tinggal di Jepang menjadi saksi, betapa patuh warganya. Diminta pakai
masker, laksanakan. Diminta tidak keluar jika tidak butuh, laksanakan.
Masyarakatnya percaya kepada pemerintah dan media, tidak menutup mata atau
menciptakan bahasan baru ditengah polemik yang ada. Tidak heran, walau tidak
menerapkan lockdown dan pembatasan
sosial, sikap tanggap pemerintah dan patuh warga negaranya membantu penurunan
kasus.
Tercatat, pada 3 Mei 2020
terdapat 294 kasus, namun pada 14 Juni 2020 lalu menjadi 47 kasus saja. Untuk
total keseluruhan, ada 18.110 kasus konfirmasi dan 968 kasus meninggal dunia.
Sungguh berbeda jauh dengan Indonesia. Eits, tapi Indonesia ‘kan padat, beda
sama Jepang. Memang, jika kita fokus kepada perbandingan angka, tidak akan
selesai. Hal yang dapat kita perhatikan ialah, bagaimana cara mereka menurunkan
angka pesebaran sepesat itu tanpa banyak aturan?
Tentu, berkaitan dengan artikel
PHBS sebelumnya, orang Jepang sangat sadar kebersihan. Mereka tidak buang
sampah sembarangan, bersih dari fasilitas umum hingga pribadi. Indonesia? Hmm.
Intinya, kalau mau sehat, terapkan pola hidup yang bersih dan sehat pula.
Normalnya, penyakit datang dari kekotoran. Jika yang non-normal seperti
covid-19 bisa datang dari segala arah, apa salahnya mencegah penyebaran lebih
luas?
Sebenarnya masih banyak negara
lain yang bisa dijadikan contoh. Berhubung saya mendapat sumber dari penghuni
Jepang sendiri—kakak saya—jadi saya sedikit lebih percaya dengan kemampuan
mereka mengatasi masalah. Sikap tanggap pemerintah, ketenangan warga negara,
kepercayaan terhadap media. Semuanya membuat saya berharap, Indonesia dapat
menerapkan hal yang sama. Terlebih penduduk kita cukup padat, namun kesadaran
atas kebersihan dan kepercayaan terhadap media sangat minim sekali. Akan sulit
untuk kita mempraktekkan seperti Jepang, tapi jika tidak ada yang mencoba,
siapa tahu, bukan?
Selain itu, saya juga berharap
tidak ada pertentangan antar sesama nakes. Awal-awal covid-19, banyak dokter
dari berbagai spesialisasi memberikan pendapat. Simpang siur, tapi yang membuat
saya paling bingung itu mengenai pernyataan drh. Indro Cahyono. Gelarnya saja
jelas, ya, dokter hewan. Jadi waktu dia buat pernyataan saya agak bingung, kok
bisa. Cari-cari, ternyata dia vaksinolog bagian hewan, tapi belum ada
sertifikasinya. Bukannya meremehkan, sayapun mengerti maksudnya adalah
meredakan kepanikan masyarakat. Tapi akan lebih baik lagi, jika dia tidak
memberikan pernyataan yang bertentangan dengan kesepakatan umum para dokter.
Banyak masyarakat yang lebih percaya pada pernyataan dia dibandingkan
pernyataan vaksinolog manusia, seperti Dirga Sakti Rambe.
Berhubung Indonesia adalah
negara yang tidak kritis, minim membaca banyak julidnya, mereka cenderung
melihat sesuatu diawal saja tanpa mencerna kebenaran, terjadilah perpecahan.
Untuk daerah saya sendiri, terpecah menjadi: 1) warga yang tidak percaya
covid-19 ada serta tidak pakai masker; 2) tidak percaya covid-19 tapi pakai
masker biar tidak dirazia polisi; 3) percaya ada covid-19, pakai masker, tetap keluar
rumah tapi menolak ke masjid. Melihat ini, saya merasa cukup dilema. Jika saja
kita semua tanggap, satu suara dan tidak pecah belah, maka menghadapi pandemi
ini tidaklah sulit.
Patuh, kritis dan memahami,
merupakan harapan yang perlu kita penuhi. Menghadapi persoalan bersama tentu
membutuhkan kerja sama pula. Jangan bandel, membuat ricuh, bahkan sampai
berkonspirasi. Tahan dulu kepentingan pribadi. Meskipun kepercayaan kita sedang
diuji, masing-masing masyarakat harus mulai berbenah diri. Jangan mudah
termakan ‘berita’, apalagi yang berasal dari dunia maya. Semoga persoalan ini
cepat berakhir, agar kita bisa menjalani kehidupan yang benar-benar normal. (iar)
Lanjutkan
BalasHapus