Sabtu, 18 Juli 2020

[KKN-DR: Produk Akhir] Kumpulan Produk KKN-DR 1-7

Pada akhir KKN ini, berikut saya kumpulkan produk yang telah dibuat pada satu tempat. Sebagai preview, bisa dilihat dibawah ini:

nairadiaries.blogspot.com

nairadiaries.blogspot.com

nairadiaries.blogspot.com

Jika tertarik, kumpulan produknya dapat didownload pada link ini. Terima kasih atas perhatiannya.

Jumat, 17 Juli 2020

[KKN-DR: Produk 7] Komunikasi Massa dalam Berbagai Media

KOMUNIKASI MASSA DALAM BERBAGAI MEDIA
IMRO ATUR RODHIYAH
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum

ABSTRAK
Komunikasi massa merupakan jenis pertukaran pesan yang dilakukan dengan orang banyak (khalayak). Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa bagaimana posisi komunikasi massa dalam berbagai media. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data didapatkan secara primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui dokumentasi dan data sekunder dikumpulkan melalui observasi dari situasi sosial. Tenik analisis data yang digunakan berupa menentukan poin yang akan dikaji, membaca, mencatat dan menganalisis poin-poin tersebut dengan sumber buku-buku yang mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat diklasifikasikan menjadi komunikasi massa sebagai media sosial, sarana pemasaran, sarana kampanye, bahkan sarana membentuk citra diri. Penelitian ini menunjukkan bahwa alat komunikasi massa dapat digunakan sebagai media sosial, memasarkan berbagai produk dan jasa, sarana kampanye dan sarana menunjukkan sosok (citra) diri kepada publik. Semua posisi itu dapat dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkannya. Butuh pengawasan dari pengguna komunikasi massa untuk mencerna apakah yang ditampilkan sesuai dengan kebutuhannya atau tidak.
KATA KUNCI:.alat komunikasi massa sebagai media sosial, sarana pemasaran, sarana kampanye, sarana membentuk citra diri.

ABSTRACT
Mass communication is kind of messages exchange done by the crowds. This study has purpose to analyze the positions of mass communication in various media. This is a qualitative study with literary approach. Primary data is collected through documentation and secondary data collected through observation of social situations. The techniques of data-analysis used include determining of the points which will be studied, read, take notes and analyze those points with the source of books supporting them. Study indicators may be classified into mass communication as a social media, marketing tool, campaign tools and even a means to forge self-image. The study suggest that mass communication can be used as social media, marketing products and services both for campaign and for public image. All of those positions can be used by the person who needs them. It takes surveillance from mass communications users to assimilate wheter or not the display are needed.
Keyword: mass communication as a social media, marketing tool, campaign tools, to forge self image.


A.    PENDAHULUAN

Perkembangan zaman yang semakin maju telah membuat banyak perubahan diberbagai bidang. Komunikasi massa sekarang tidak lagi hanya terbatas kepada televisi, radio atau surat kabar. Dengan adanya internet yang berkembang pesat, banyak hal yang bisa dilakukan. Tidak sedikit yang dapat meraup keuntungan dari media. Pemanfaatan media ini juga tidak terbatas hanya untuk menyebarkan berita saja. Sekarang, media massa bisa digunakan sebagai tempat untuk bersosialisasi, melakukan pemasaran produk, tempat untuk berkampanye, dan untuk membentuk citra diri.

B.     PEMBAHASAN

Alat komunikasi massa merupakan sarana khalayak untuk bertukar informasi. Seiring dengan perkembangan teknologi yang melesat cepat, komunikasi massa tidak lagi terjadi sebatas menonton tv, mendengar radio dan membaca koran. Ada banyak fungsi alat komunikasi massa, seperti sarana media sosial, sarana pemasaran, sarana kampanye, bahkan sarana membentuk citra diri.

1.      Alat Komunikasi Massa sebagai Media Sosial

Media sosial merupakan saran untuk berhubungan dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung karena penggunaannya yang menggunakan jaringan nirkabel yang dikenal dengan sebutan ‘online’. Alat komunikasi massa sekarang ini bukan hanya terbatas kepada radio atau televisi saja. Dengan semakin berkembangnya teknologi, informasi bisa diterima melalui genggaman tangan atau fasilitas yang disediakan pemerintah di jalanan umum. Manusia juga bisa saling berhubungan dengan siapa saja dan waktu yang tidak ditentukan. Tentunya, bukan hanya dengan manusia yang berada di Negara yang sama saja, tapi juga sudah mencakup penduduk dari negeri luar dengan bahasa yang jelas berbeda. Akibatnya, terjadi pertukaran informasi terkait budaya, militer, kondisi wilayah masing-masing, serta banyak lagi. Dengan adanya pertukaran informasi seperti ini, manusia dapat lebih mengenal dunia dan menambah jumlah teman.

2.      Alat Komunikasi Massa sebagai Media Pemasaran

Menurut Philip Kotler & Kevin Lane Keller (2009), komunikasi pemasaran adalah sarana dimana perusahaan berusaha menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen secara langsung maupun tidak langsung, tentang produk dan merek yang dijual. Komunikasi pemasaran dapat memberitahu atau memperlihatkan kepada konsumen tentang bagaimana dan mengapa produk itu digunakan, oleh orang macam apa, serta dimana dan kapan.

Alat komunikasi massa baik dulu maupun sekarang telah berperan besar dalam meningkatkan pemasaran produk. Jika dimasa dulu para pengusaha mencoba memasarkan produk mereka melalui iklan yang dipasang di koran atau radio, sekarang sudah tersedia situs-situs yang khusus digunakan sebagai tempat pemasaran produk. Hanya dengan mengunjungi salah satu situs tersebut, pembeli sudah dapat memilih barang yang diinginkan tanpa perlu repot berkeliling dari satu toko ke toko lainnya.

Selain kemudahan yang didapatkan oleh pembeli, para pengusaha produk juga dapat keuntungan sendiri. Media massa yang bersifat satu arah dapat membuat promosi menjadi lebih mudah. Cukup dengan mengambil foto produk kemudian menuliskan keunggulannya dengan bahasa yang persuasif, produk itu sudah dapat laku dipasaran. Pembeli cenderung percaya kepada deskripsi yang diberikan dan mereka juga tidak bisa bertanya banyak karena tidak semua komentar yang ditulis pada laman iklan itu dapat langsung dibalas.

Pemasaran melalui media massa juga lebih efektif dibandingkan menggunakan tenaga sales. Contohnya saja seperti acara home shopping yang ditayangkan pada televisi. Waktu siaran yang terbatas dan diskon yang ditawarkan membuat penonton harus bergegas membeli sebelum kesempatan tersebut hangus. Saking besarnya kesempatan, tak jarang barang yang dipasarkan itu sudah habis bahkan sebelum acara setengah jalan berlangsung. Karenanya, banyak dari pemilik usaha pada masa sekarang lebih senang memasarkan barang mereka melalui media massa. Media massa yang dapat digunakan untuk pemasaran diantaranya:

a.  Televisi (iklan, home shopping, sponsor pada acara televisi dengan rating tinggi dikalangan masyarakat);

b.   Radio (iklan);

c.   Surat kabar (kolom iklan);

d.  Internet (situs jual-beli online, laman iklan pada situs download film, promosi pada artikel yang banyak dikunjungi pengguna internet).

3.      Alat Komunikasi Massa sebagai Media Kampanye

Kampanye merupakan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan karena program yang disampaikan nantinya digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan umum.

Dimasa dulu, masih banyak anggapan bahwa media massa merupakan komponen komunikasi yang netral, tidak akan dapat mempengaruhi masyarakat seperti apapun cara yang dilakukan. Namun, dimasa sekarang, terkait dengan fungsi media massa sebagai pemberi informasi, tak jarang kampanye dilakukan melalui media televisi atau radio. Banyak atau sedikitnya penayangan yang berhubungan dengan partai menjadi patokan kesuksesan kampanye.

Media massa dapat mencapai berbagai macam kondisi masyarakat. Karenanya, kesempatan untuk menggaet pemilih menjadi lebih besar. Apalagi dengan opini partai yang diciptakan media begitu kuat mempengaruhi masyarakat, tidak heran jika partai yang berkampanye lewat media massa jauh lebih diingat masyarakat.

4.      Alat Komunikasi Massa sebagai Media Pembentukan Citra Diri (Facebook, Snapchat, Twitter, Vlog, Instagram)

Citra diri merupakan kesan yang diberikan diri kepada khalayak. Sekarang, bukan hanya public figure atau pejabat penting saja yang bisa memberikan citra diri berbeda kepada umum, namun juga masyarakat. Tujuan utama pemberian citra diri ini memang untuk membentuk kesan diri yang berbeda. Dengan menggunakan media massa, orang yang sebenarnya berkarakter buruk bisa terlihat baik, begitu pula sebaliknya. Ada banyak media massa yang digunakan untuk pembentukan citra diri ini, diantaranya ialah:

a.       Facebook

Merupakan sebuah layanan jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya mengirimkan foto, video, atau pesan teks kepada teman facebook. Pengguna dapat memilih apa yang ingin diunggah dan disampaikan dalam facebook. Jika pengguna mengirimkan foto sedang memasak makanan dengan tampilan yang menarik, misalnya, maka pengguna lain akan beranggapan bahwa ia merupakan seseorang yang pintar memasak, walau pada kenyataannya belum tentu begitu. Ini sudah menjadi salah satu cara untuk membentuk citra diri yang berbeda, karena manusia pada umumnya hanya ingin menunjukkan dirinya yang baik saja kepada umum.

b.      Snapchat

Snapchat adalah aplikasi pesan foto yang dikembangkan Even Spiegel, Bobby Murphy dan Reggie Brown. Dengan aplikasi ini, pengguna dapat mengambil foto, merekam video, menambahkan teks dan lukisan, dan mengirimkannya ke daftar penerima yang ditentukan pengguna. Foto dan video kiriman pengguna disebut ‘snaps’. Penguna menetapkan batas waktu tersedianya snaps mereka (sejak April 2014, batasnya antara 1 sampai 10 detik), lalu foto dan video tersebut disembunyikan dari perangkat penerima dan dihapus dari server Snapchat dan tidak akan bisa dikembalikan lagi. Fitur ini cocok digunakan bagi pengguna yang ingin bertukar foto dan video secara rahasia.

c.       Twitter

Twitter adalah layanan jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal dengan istilah kicauan (tweet). Twitter didirikan pada Maret 2006 oleh Jack Dorsey.

d.      Vlog

Video-blogging biasa disebut ‘vlog’ atau ‘vlogging’, merupakan suatu bentuk kegiatan blogging menggunakan media video yang dibuat dengan perangkat yang dapat merekam video. Vlog masih bisa dianggap sebagai bentuk lain dari televisi internet. Selain video, vlog juga ada yang menyertakan keterangan teks atau data lainnya.

Blog video sendiri dapat dibuat dalam bentuk rekaman satu gambar atau rekaman yang dipotong ke beberapa bagian. Dengan perangkat lunak yang tersedia, seseorang dapat menyunting video yang mereka buat dan memadukannya dengan audio, serta menggabungkan beberapa rekaman ke dalam satu gambar, sehingga menjadi suatu rekaman blog video yang padu.

e.       Instagram

Merupakan sebuah aplikasi berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, video, menerapkan filter digital dan membagikannya keberbagai layanan jejaring sosial.

Pada dasarnya, apapun media massa yang digunakan, pengguna dapat memberikan kesan yang diinginkan kepada khalayak umum. Kesan tersebut bisa jadi memang benar, namun juga bisa hanya ciptaan belaka. Diperlukan kebijakan dari sesama pengguna untuk memilah berbagai macam pencitraan yang beredar dikhalayak umum.



C.    KESIMPULAN

Alat komunikasi massa terus berkembang seiring berjalannya waktu. Khalayak yang semakin bergantung kepada ponsel dan internet mulai menggabungkan penggunaan media massa. Untuk dapat bersaing di era modern, media massa juga harus fleksibel, mampu bergerak sesuai trend terkini dan menyediakan kebutuhan khalayak tanpa batas. Sayang sekali, alat komunikasi massa menjadi sarang kepalsuan. Seperti pada bahasan, media massa menjadi alat untuk menampilkan citra diri (pribadi, kelompok, perusahaan) yang bisa saja, menipu pengguna lain.

Khalayak berlomba menampilkan diri terbaik mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan dapat berbuat curang dan bohong demi memenuhi ekspetasi publik. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dari sesama pengguna dan orang disekitarnya. Mencerna informasi haruslah kritis agar dapat memperoleh fakta sebenarnya. Jangan mudah termakan kabar burung yang beredar di media sosial, karena nyatanya, informasi yang benar haruslah melalui proses jurnalistik lebih dahulu. Menjadikan media cetak dan elektronik sebagai acuan merupakan langkah awal menangkal diri dari informasi palsu dan penuh pencitraan. Tentu, kita harus mampu pula membedakan media mana yang dapat dipercaya dan mana yang tidak. Untuk itu, khalayak harus rajin membaca informasi agar terbiasa membedakan fakta dan hoax.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, Novel. 1999. Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Wikipedia. 16 April 2018. Blog Video. https://id.wikipedia.org/wiki/blog-video.

_________. 22 Desember 2017. Facebook. https://id.wikipedia.org/wiki/facebook.

_________. 27 April 2018. Instagram. https://id.wikipedia.org/wiki/instagram.

_________. 8 Mei 2018. Snapchat. https://id.wikipedia.org/wiki/snapchat.

_________. ----------. Twitter. https://id.wikipedia.org/wiki/twitter.

Yuniati, Yenni. 2002. Pengaruh Berita di Surat Kabar terhadap Persepsi Mahasiswa tentang Politik. Mediator: Jurnal Komunikasi Vol. 3 Nomor 1 Tahun 2002. Diterbitkan oleh Fikom Unisba, Bandung.

[KKN-DR: Produk 6] Kebebasan Pers dan Rambu yang Mengawasi


KEBEBASAN PERS DAN RAMBU YANG MENGAWASI
IMRO ATUR RODHIYAH
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum

ABSTRAK
Kebebasan pers bukan berarti pers tidak memiliki aturan. Kebebasan ini harus berlandaskan kepada aturan yang berlaku. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa aturan apa saja yang melingkupi pers sehingga dapat disebut sebagai pers bebas. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data didapatkan secara primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui dokumentasi dan data sekunder dikumpulkan melalui observasi dari situasi sosial. Tenik analisis data yang digunakan berupa menentukan poin yang akan dikaji, membaca, mencatat dan menganalisis poin-poin tersebut dengan sumber buku-buku yang mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat diklasifikasikan menjadi undang-undang pers, kode etik jurnalistik dan konsep kebebasan pers. Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menjadi pers yang bebas, pers itu harus mengikuti UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia. Aturan ini membebaskan sekaligus mengikat pers agar dapat bekerja sebagai penyedia informasi yang kredibel dan akurat.
KATA KUNCI:.undang-undang pers, kode etik jurnalistik, konsep kebebasan pers.

ABSTRACT
Freedom of the press does not mean that the press does not have a rule.  This freedom should be based on rules that apply. This research has purpose to analyze any rules surrounding the press and thus be a free press. This is a qualitative study with literary approach. Primary data is collected through documentation and secondary data collected through observation of social situations. The techniques of data-analysis used include determining of the points which will be studied, read, take notes and analyze those points with the source of books supporting them. Research indicators may be classified into the press act, the ethical code of journalism and the concept of freedom of the press. This study shows that to be a free press, it must follow 2002 act No. 32 on broadcasting, 1999 act No. 40 on press and the journalistic code of Indonesian Press Union. This rule liberates and binds the press in order to work as credible and accurate information media.
Keyword: act of press, the ethical code of journalism, the concept of freedom of press.


A.    PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan atau jurnalis akan memerlukan sebuah aturan yang dapat mengikatnya, sehingga ia tidak menyalahgunakan profesinya kedalam berbagai hal. Di Indonesia sendiri, banyak aturan yang mengikat wartawan atau jurnalis, baik individunya maupun lembaga pers itu sendiri. Namun, aturan yang paling mendasar terdapat dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia. Diharapkan dengan adanya aturan ini, pers Indonesia akan semakin baik dan tidak lagi menjauh dari nilai-nilai yang seharusnya ditampilkan sebuah lembaga pers.
Miris, saat ini aturan itu seakan angin lalu. Menjamurnya portal berita daring menyebabkan aturan ini seakan tidak berlaku bagi wartawan online. Memang, jika ditilik dari target media (online: kecepatan; cetak:keakuratan; elektronik:cepat dan akurat) aturan yang melingkupi wartawannya harus dibedakan pula. Namun, bukan berarti wartawan online bisa menanggalkan aturan yang menjadi acuan wartawan Indonesia tersebut. Ditambah minimnya pengetahuan masyarakat perihal wartawan, pers dan media menjadikan posisi wartawan sebagai penyaji informasi terpercaya makin sulit. Untuk itu, diperlukan penyadaran serta penyebarluasan mengenai kegiatan jurnalistik agar kita terhindar dari informasi palsu yang semakin tampak.
B.     PEMBAHASAN
Undang-undang membatasi media pers dari hal-hal yang boleh diberitakan melalui pasal-pasalnya. Di Indonesia terdapat dua undang-undang yang mengatur tentang pers dan penyiaran, yaitu UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedua undang-undang ini merupakan rambu bagi pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia. Walau kedua undang-undang tersebut masih menyisakan banyak kelemahan yang menimbulkan perdebatan, namun sifatnya tetap mengikat hingga saat ini.[1]
Bunyi UU No. 40 tahun 1999 tentang wartawan (Bab III Pasal 7):
“(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan; dan
  (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Selain undang-undang tersebut, wartawan juga memiliki aturan lain yang dirangkum dalam kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Kode etik jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KEJ PWI mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan pada tahun 2006, Dewan Pers merumuskan kode etik jurnalistik baru yang merupakan penyempurnaan dari kode etik yang lama, yakni: [2]
1.      Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.
2.     Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3.    Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan praduga tak bersalah.
4.     Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.
5.    Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6.      Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7.     Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8.    Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat yang lemah, miskin, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9.     Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10.  Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa.
11.     Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara profesional.
Dari kode etik jurnalistik diatas, sebenarnya sudah cukup jelas batasan kerja dari seorang wartawan pers. Khalayak perlu mengetahui hal ini, karena banyak yang tidak mengerti bahwa wartawan bergerak mencari fakta namun juga melindungi, bukan sekedar memberitakan kemudian berlepas tangan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi kasus pelecehan anak oleh manajernya. Meski media telah melakukan sensor terhadap nama, wajah serta ciri lain dari si anak, khalayak malah mengeksposnya melalui media sosial. Melemparkan komentar-komentar yang berisi dugaan identitas si anak, hingga orang lain yang sebenarnya tidak terlibat turut menjadi sasaran. Tujuan dari melindungi identitas ini bukan sekedar wartawan malas atau disuap, melainkan untuk melindungi anak yang menjadi korban tersebut. Masa depan seseorang bisa hancur dengan hanya sebaris berita, untuk itulah wartawan bergerak mengikuti aturan yang ada. Wartawan harus berhati-hati agar tidak hanya korban yang dilindungi, namun juga keluarga dari korban bahkan pelaku itu sendiri. Sayang sekali, wartawan media online banyak yang melanggar hal ini. Tentu, media tersebut bukanlah media besar yang memiliki kepercayaan tinggi dari pembaca, namun dengan berkembangnya teknologi, tidak menutup kemungkinan khalayak lebih memilih judul menarik perhatian meski berasal dari situs tidak kredibel. Jika sudah seperti ini, lantas khalayak akan mengekspresikan reaksinya melalui media sosial masing-masing, sehingga sulit bagi media mengontrol penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan rambu pers.
Dalam mengkaji relasi pers dengan masyarakat, harus mempertimbangkan sistem atau konsep nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut, sebab konsep itulah yang mengikat dan membentuk tata kehidupannya. Dia menjadi dasar pertimbangan bagi penyusunan hukum positif maupun kode etik profesi.
Tahun 1974, Dewan Pers merumuskan Pers Pancasila dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idiil Pers. Disana disebutkan antara lain bahwa pers dalam menjalankan kebebasannya mempertimbangkan harmoni dalam masyarakat, serta keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. Pers Pancasila juga dikatakan harus memperhatikan keseimbangan antara kehidupan manusia dan alamnya. Para pakar saat itu ada yang berpandangan bahwa pers seperti itu tidak sama dengan pers di negara liberal dan juga tidak sama dengan pers yang ada di negara komunis-sosialis. Mereka menggambarkan pers Pancasila sebagai “pers bebas dan bertanggung jawab”. Ada kalangan yang menilai konsep pers Pancasila itu sebenarnya sangat bagus, tetapi karena pemerintah ketika itu menjadikannya hanya sebagai tameng untuk mengekang kebebasan pers, citra positifnya menjadi hilang.
Pada kenyataannya, hingga saat ini, para pakar baru mengenal empat konsep kebebasan pers, yaitu:[3]
1.   Authoritarian Concept of the Pers, yakni konsep yang muncul saat iklim otoriter sedang berjaya diakhir abad renaisans. Pers milik raja wajib menyuarakan kebijakan Raja, dan pihak swasta harus memiliki izin dari raja untuk menerbitkan sesuatu. Izin itu juga dapat dicabut seketika jika Raja menginginkan;
2.     Libertarian Concept of the Pers, dalam konsep ini, pers harus benar-benar bebas dari segala kontrol dan pembatasan dari manapun datangnya agar ia dapat menjalankan fungsinya;
3.      Totalitarian Concept of the Pers, lembaga pers harus menjadi milik partai;
4.    Social Responsibility of the Pers, pers menjamin semua pihak dapat terwakili dan masyarakat mendapat cukup informasi untuk mengambil keputusan.
Dari empat konsep tersebut, pers Indonesia diharapkan untuk memenuhi konsep social responsibility, karena pada bagian inilah pers menjadi sosok yang sebenarnya. Jika pers mengikuti konsep libertarian (konsep pers Indonesia saat ini), dikuatirkan pers akan terlalu bebas, sehingga hal yang sebenarnya tidak perlu diberitakan tetap menjadi konsumsi publik (contoh: kehidupan sehari-hari figur publik, silsilah keluarganya sampai isi ATM yang dimiliki) atau malah memberitakan sesuatu yang sebenarnya bisa ditahan untuk mencegah kepanikan massal. Bukan berarti media menahan informasi, namun ada beberapa hal yang sebenarnya belum bisa diceritakan pada publik malah bocor karena konsep libertarian ini. Ujungnya, khalayak terpecah dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pihak yang diberitakan atau pers itu sendiri.
C.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan mengenai pers Indonesia merujuk kepada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, dalam menyajikan informasi, wartawan pers mengacu kepada kode etik jurnalistik yang telah disepakati. Aturan tersebut dibuat bukan hanya untuk mencegah penyalahgunaan profesi, namun juga memberikan jaminan kepada setiap individu yang terlibat dengan pers. Saat ini, banyak wartawan yang tidak lagi berpatokan kepada aturan tersebut, kususnya pada wartawan yang bergerak dimedia online. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari wartawan dan khalayak. Adanya kejelasan mengenai posisi wartawan ini diharapkan dapat memberi gambaran pada khalayak, mana informasi yang patut mereka percayai, mana yang tidak. Selain itu, dengan menyadari keberadaan aturan ini, wartawan yang bergerak sendiri (freelance) diharapkan turut patuh kepada rambu jurnalistik agar tidak ada khalayak yang menganggap remeh informasi yang disampaikan oleh seluruh insan pers.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga
Daulay, Hamdan. 2016. Jurnalistik dan Kebebasan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Shoelhi, Mohammad. 2014. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Suryawati, Indah. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1]  Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014) h. 97.
[2] Hamdan Daulay, Jurnalistik dan Kebebasan Pers (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016) h. 33-34.
[3] Sedia Willing Barus, Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Erlangga, 2010) h. 238-241.