KEBEBASAN PERS DAN
RAMBU YANG MENGAWASI
IMRO
ATUR RODHIYAH
Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang
KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum
ABSTRAK
Kebebasan pers bukan berarti pers tidak
memiliki aturan. Kebebasan ini harus berlandaskan kepada aturan yang berlaku.
Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisa aturan apa saja yang melingkupi pers sehingga dapat disebut sebagai pers
bebas. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan studi
pustaka. Sumber data didapatkan secara primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui dokumentasi dan data sekunder dikumpulkan melalui observasi
dari situasi sosial. Tenik analisis data yang digunakan berupa menentukan poin
yang akan dikaji, membaca, mencatat dan menganalisis poin-poin tersebut dengan
sumber buku-buku yang mendukung sebagai acuan. Indikator penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi undang-undang
pers, kode etik jurnalistik dan konsep kebebasan pers. Penelitian ini
menunjukkan bahwa untuk menjadi pers
yang bebas, pers itu harus mengikuti UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No.
40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan
Indonesia. Aturan ini
membebaskan sekaligus mengikat pers agar dapat bekerja sebagai penyedia
informasi yang kredibel dan akurat.
KATA KUNCI:.undang-undang pers, kode etik jurnalistik, konsep
kebebasan pers.
ABSTRACT
Freedom of the press does
not mean that the press does not have a rule.
This freedom should be based on rules that apply. This research has
purpose to analyze any rules surrounding the press and thus be a free press.
This is a qualitative study with literary approach. Primary data is collected through
documentation and secondary data collected through observation of social
situations. The techniques of data-analysis used include determining of the
points which will be studied, read, take notes and analyze those points with
the source of books supporting them. Research indicators may be classified into the press act, the ethical code of
journalism and the concept of freedom of the press. This study shows
that to be a free press, it
must follow 2002 act No. 32 on broadcasting, 1999 act No. 40 on press and the
journalistic code of Indonesian Press Union. This rule liberates and binds the press in order
to work as credible and accurate information media.
Keyword: act of press, the ethical code of journalism, the concept of freedom of
press.
A.
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan
atau jurnalis akan memerlukan sebuah aturan yang dapat mengikatnya, sehingga ia
tidak menyalahgunakan profesinya kedalam berbagai hal. Di Indonesia sendiri, banyak aturan yang
mengikat wartawan atau jurnalis, baik individunya maupun lembaga pers itu
sendiri. Namun, aturan yang paling mendasar terdapat dalam UU No. 32 tahun 2002
tentang Penyiaran, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik
Persatuan Wartawan Indonesia. Diharapkan dengan adanya aturan ini, pers
Indonesia akan semakin baik dan tidak lagi menjauh dari nilai-nilai yang
seharusnya ditampilkan sebuah lembaga pers.
Miris, saat ini aturan itu
seakan angin lalu. Menjamurnya portal berita daring menyebabkan aturan ini
seakan tidak berlaku bagi wartawan online. Memang, jika ditilik dari target
media (online: kecepatan; cetak:keakuratan; elektronik:cepat dan akurat) aturan
yang melingkupi wartawannya harus dibedakan pula. Namun, bukan berarti wartawan
online bisa menanggalkan aturan yang menjadi acuan wartawan Indonesia tersebut.
Ditambah minimnya pengetahuan masyarakat perihal wartawan, pers dan media
menjadikan posisi wartawan sebagai penyaji informasi terpercaya makin sulit.
Untuk itu, diperlukan penyadaran serta penyebarluasan mengenai kegiatan jurnalistik
agar kita terhindar dari informasi palsu yang semakin tampak.
B.
PEMBAHASAN
Undang-undang membatasi media pers dari hal-hal
yang boleh diberitakan melalui pasal-pasalnya. Di Indonesia terdapat dua
undang-undang yang mengatur tentang pers dan penyiaran, yaitu UU No. 40 tahun
1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedua
undang-undang ini merupakan rambu bagi pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia.
Walau kedua undang-undang tersebut masih menyisakan banyak kelemahan yang
menimbulkan perdebatan, namun sifatnya tetap mengikat hingga saat ini.
Bunyi UU No. 40 tahun 1999 tentang wartawan
(Bab III Pasal 7):
“(1) Wartawan bebas memilih organisasi
wartawan; dan
(2)
Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Selain
undang-undang tersebut, wartawan juga memiliki aturan lain yang dirangkum dalam
kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Kode etik
jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI). KEJ PWI mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan pada tahun 2006,
Dewan Pers merumuskan kode etik jurnalistik baru yang merupakan penyempurnaan
dari kode etik yang lama, yakni:[2]
1. Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini yang
menghakimi, serta menerapkan praduga tak bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan
menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan
profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk
melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off
the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau
menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang
atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa,
serta tidak merendahkan martabat yang lemah, miskin, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
9.
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar atau pemirsa.
11.
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak
koreksi secara profesional.
Dari kode etik jurnalistik
diatas, sebenarnya sudah cukup jelas batasan kerja dari seorang wartawan pers.
Khalayak perlu mengetahui hal ini, karena banyak yang tidak mengerti bahwa
wartawan bergerak mencari fakta namun juga melindungi, bukan sekedar
memberitakan kemudian berlepas tangan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi
kasus pelecehan anak oleh manajernya. Meski media telah melakukan sensor
terhadap nama, wajah serta ciri lain dari si anak, khalayak malah mengeksposnya
melalui media sosial. Melemparkan komentar-komentar yang berisi dugaan
identitas si anak, hingga orang lain yang sebenarnya tidak terlibat turut
menjadi sasaran. Tujuan dari melindungi identitas ini bukan sekedar wartawan
malas atau disuap, melainkan untuk melindungi anak yang menjadi korban
tersebut. Masa depan seseorang bisa hancur dengan hanya sebaris berita, untuk
itulah wartawan bergerak mengikuti aturan yang ada. Wartawan harus berhati-hati
agar tidak hanya korban yang dilindungi, namun juga keluarga dari korban bahkan
pelaku itu sendiri. Sayang sekali, wartawan media online banyak yang melanggar
hal ini. Tentu, media tersebut bukanlah media besar yang memiliki kepercayaan
tinggi dari pembaca, namun dengan berkembangnya teknologi, tidak menutup kemungkinan
khalayak lebih memilih judul menarik perhatian meski berasal dari situs tidak
kredibel. Jika sudah seperti ini, lantas khalayak akan mengekspresikan
reaksinya melalui media sosial masing-masing, sehingga sulit bagi media
mengontrol penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan rambu pers.
Dalam mengkaji relasi pers dengan masyarakat,
harus mempertimbangkan sistem atau konsep nilai-nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat tersebut, sebab konsep itulah yang mengikat dan membentuk tata
kehidupannya. Dia menjadi dasar pertimbangan bagi penyusunan hukum positif
maupun kode etik profesi.
Tahun 1974, Dewan Pers merumuskan Pers
Pancasila dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan
Idiil Pers. Disana disebutkan antara lain bahwa pers dalam menjalankan
kebebasannya mempertimbangkan harmoni dalam masyarakat, serta keseimbangan
antara kehidupan lahir dan batin. Pers Pancasila juga dikatakan harus
memperhatikan keseimbangan antara kehidupan manusia dan alamnya. Para pakar
saat itu ada yang berpandangan bahwa pers seperti itu tidak sama dengan pers di
negara liberal dan juga tidak sama dengan pers yang ada di negara
komunis-sosialis. Mereka menggambarkan pers Pancasila sebagai “pers bebas dan
bertanggung jawab”. Ada kalangan yang menilai konsep pers Pancasila itu
sebenarnya sangat bagus, tetapi karena pemerintah ketika itu menjadikannya
hanya sebagai tameng untuk mengekang kebebasan pers, citra positifnya menjadi
hilang.
Pada kenyataannya, hingga saat ini, para pakar
baru mengenal empat konsep kebebasan pers, yaitu:
1. Authoritarian Concept of the Pers, yakni
konsep yang muncul saat iklim otoriter sedang berjaya diakhir abad renaisans.
Pers milik raja wajib menyuarakan kebijakan Raja, dan pihak swasta harus
memiliki izin dari raja untuk menerbitkan sesuatu. Izin itu juga dapat dicabut
seketika jika Raja menginginkan;
2.
Libertarian Concept of the Pers, dalam
konsep ini, pers harus benar-benar bebas dari segala kontrol dan pembatasan
dari manapun datangnya agar ia dapat menjalankan fungsinya;
3.
Totalitarian Concept of the Pers,
lembaga pers harus menjadi milik partai;
4. Social Responsibility of the Pers, pers
menjamin semua pihak dapat terwakili dan masyarakat mendapat cukup informasi
untuk mengambil keputusan.
Dari empat konsep
tersebut, pers Indonesia diharapkan untuk memenuhi konsep social responsibility, karena pada bagian inilah pers menjadi sosok
yang sebenarnya. Jika pers mengikuti konsep libertarian
(konsep pers Indonesia saat ini), dikuatirkan pers akan terlalu bebas, sehingga
hal yang sebenarnya tidak perlu diberitakan tetap menjadi konsumsi publik
(contoh: kehidupan sehari-hari figur publik, silsilah keluarganya sampai isi
ATM yang dimiliki) atau malah memberitakan sesuatu yang sebenarnya bisa ditahan
untuk mencegah kepanikan massal. Bukan berarti media menahan informasi, namun
ada beberapa hal yang sebenarnya belum bisa diceritakan pada publik malah bocor
karena konsep libertarian ini.
Ujungnya, khalayak terpecah dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pihak
yang diberitakan atau pers itu sendiri.
C.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
kebebasan mengenai pers Indonesia merujuk kepada UU No. 40 tahun 1999 tentang
Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, dalam menyajikan informasi, wartawan pers
mengacu kepada kode etik jurnalistik yang telah disepakati. Aturan tersebut
dibuat bukan hanya untuk mencegah penyalahgunaan profesi, namun juga memberikan
jaminan kepada setiap individu yang terlibat dengan pers. Saat ini, banyak
wartawan yang tidak lagi berpatokan kepada aturan tersebut, kususnya pada
wartawan yang bergerak dimedia online. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari
wartawan dan khalayak. Adanya kejelasan mengenai posisi wartawan ini diharapkan
dapat memberi gambaran pada khalayak, mana informasi yang patut mereka
percayai, mana yang tidak. Selain itu, dengan menyadari keberadaan aturan ini,
wartawan yang bergerak sendiri (freelance)
diharapkan turut patuh kepada rambu jurnalistik agar tidak ada khalayak yang
menganggap remeh informasi yang disampaikan oleh seluruh insan pers.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Barus,
Sedia Willing. 2010. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita.
Jakarta: Erlangga
Daulay,
Hamdan. 2016. Jurnalistik dan Kebebasan Pers. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Shoelhi,
Mohammad. 2014. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Suryawati,
Indah. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.