Sabtu, 20 Juni 2020

[KKN-DR: Produk 1] Mengolah Informasi Agar Terhindar dari Berita Bohong

MENGOLAH INFORMASI AGAR TERHINDAR DARI BERITA BOHONG
IMRO ATUR RODHIYAH
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum

ABSTRAK
Informasi merupakan aspek penting yang dibutuhkan manusia. Keberlangsungan hidup dan bermasyarakat sangat berkaitan erat dengan informasi. Tujuan dari artikel ini ialah untuk menganalisa dan memberitahukan aspek-aspek informasi palsu. Sumber data berasal dari dokumentasi dan observasi terhadap situasi sosial. Teknik analisis data yang digunakan berupa membaca, mencatat dan menganalisis aspek-aspek yang ada dengan sumber artikel ilmiah, jurnal dan berita sebagai acuan. Indikator artikel ini dapat diklasifikasikan menjadi informasi palsu, ciri-ciri dan media kredibel. Artikel ini menunjukkan bahwa informasi palsu timbul sebagai bentuk pengalihan dari info yang sebenarnya, umumnya menggunakan media sosial sebagai sarana penyebaran.
 
KATA KUNCI: informasi palsu, ciri-ciri, media kredibel.
 

ABSTRACT
Information is an important aspect of human need. Longevity and community are closely associated with information. The purpose of the article is to analyze and expose aspects of false information. The source comes from the documentation and observation of social situations. The data analysis techniques used are reading notes and analyzing available aspects with the scientific journal and news source for reference. The indicator of this article can be classified into false information, traits and credible media. The article shows that false information arises as a distraction from the real information, primarily using social media as a means of dissemination.
Keyword: false information, traits, credible media.



A.    Pendahuluan
Indonesia bertumbuh seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Tidak pelak, perkembangan ini membawa pengaruh positif dan negatif dalam banyak bidang, termasuk jurnalistik. Jurnalistik merupakan kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia (UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers). Untuk mendapatkan informasi yang terpercaya, maka jurnalislah yang patut ditemui. Akan tetapi, seiring banyaknya media yang beredar, maka semakin sulit pula untuk mengontrol persebaran informasi ini. Belum lagi semakin rendahnya nilai jual media membuat kepercayaan khalayak semakin menurun.
Era digital mengantarkan khalayak untuk mencari informasi dengan cepat melalui internet. Mediapun tidak mau kalah, masing-masing berusaha menarik khalayak pada siaran streaming berita atau paparan media online. Saying sekali, khalayak yang mengunjungi media kredibel seperti ini kalah jumlah dengan yang mengakses informasi dari pesan berantai aplikasi obrolan grup.
Sebenarnya, informasi berantai di media sosial seperti facebook atau whatsapp tidak sepenuhnya salah. Namun, bukan berarti info tersebut juga benar. Sebuah informasi yang baik harus memenuhi setidaknya unsur 5W+1H, yakni apa, dimana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana. Apakah dengan mencantumkan unsur tersebut informasi sudah masuk kategori benar? Belum tentu. Masih ada banyak kriteria lain yang harus dilihat agar informasi tersebut benar-benar layak diterima serta dapat disebarkan.
B.     Pembahasan
Informasi tidak benar sama artinya dengan info palsu, yang sekarang ini lebih akrab disebut sebagai hoax. Pellegrini mengembangkan definisi hoax dari MacDougall dan menjelaskannya sebagai sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik atau ekstrinsik. (Silalahi, Bestari, & Saputra, 2017). Sebagai bagian dari khalayak, tidak ada manfaat yang didapat dari berita palsu ini. Seperti pengertiannya, info palsu disebarkan untuk mencapai kepentingan pribadi.
Memasuki era digital, info palsu semakin mudah tersebar. Sebuah fakta dapat berubah signifikan setelah memasuki internet. Tidak heran, khalayak menjadi skeptis terhadap segala media. Jika dilihat, sangat sulit percaya kepada media. Kuatnya unsur liberalis media Indonesia (meski digadang sebagai media yang memiliki dasar Pancasila) merupakan penyebab utama. Media berlomba-lomba mencari keuntungan tanpa melihat kualitas program yang mereka tawarkan. Dari sekian banyak media Indonesia, sangat sedikit yang bisa disebut berkualitas.
Oleh sebab itu, masyarakat cenderung lebih percaya pada unggahan media sosial. Bukan tanpa alasan, mereka berpendapat karena media sosial merupakan ‘tempat bercerita kehidupan nyata’. Jadi, jika A berkata bahwa terjadi peristiwa tabrak lari di depan rumahnya, dilengkapi foto yang ‘nyata’, maka orang yang membaca postingan tersebut akan percaya. Padahal, bisa jadi setelah A mempublikasikan infonya, pelaku tabrak lari itu langsung kembali ke lokasi membawa bantuan serta bertanggung jawab. A bisa saja melanjutkan informasinya, namun dia bisa juga memilih untuk tidak melakukan hal tersebut. Inilah yang menyebabkan sebuah informasi di media sosial, bisa benar namun juga salah.
Sebelum membahas lebih lanjut terkait info palsu, akan lebih baik ditegaskan dulu mengenai orang yang menyebarkannya. Seorang jurnalis, baik yang bergerak melalui media maupun independen, tidak akan memberitakan suatu kejadian setengah-setengah. Jika ada informasi tambahan, mereka akan membuat berita lanjutan. Jurnalis memiliki kode etik yang jika dilanggar, bukan hanya menjatuhkan nilainya dikalangan khalayak, namun juga diantara para jurnalis. Hilangnya kepercayaan ini akan menjadi batas matinya sebagai jurnalis. Berbeda dengan oknum biasa yang menyebarkan info tanpa takut konsekuensi. Nyaris seluruh penyebar info tidak berdasar di media sosial bergerak sendiri. Mereka tidak kuatir kehilangan harga diri sebagai jurnalis karena mereka memang bukan jurnalis. Perlu diingat, semua orang bisa mencari info, namun tidak semua orang dapat menyampaikannya. Maraknya informasi palsu ini menjadi ancaman terhadap media yang bekerja keras menyampaikan informasi kredibel. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo pada puncak peringatan HPN 2017 menyebutkan, “tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Kebenaran ini dicemari oleh berita 'hoax'. Wartawan melawan ini." (Dewan Pers: Tugas Jurnalis Tercemar Maraknya Berita Hoax, https://tirto.id/ciD5)
Berlanjut pada informasi palsu, sebenarnya ada beberapa jenisnya. Dikutip dari jurnal mengenai informasi hoax, berikut beberapa bentuknya (Rahadi, 2017, hal. 62):
1.      Fake news
Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
2.      Clickbait
Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.
3.      Confirmation bias
Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.
4.      Misinformation
Informasi yang salah atau tidak akurat, terutama yang ditujukan untuk menipu.
5.      Satire
Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.
6.      Post-truth
Kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik. 
7.      Propaganda
Aktifitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.
Informasi palsu menyebar sesuai dengan kebutuhan penyebarnya. Saat masa kampanye, maka akan muncul informasi propaganda untuk menjatuhkan lawan (black campaign). Masa pandemi seperti sekarang juga tidak luput dari informasi palsu. Banyak tersebar melalui pesan obrolan grup mengenai covid. Akibatnya, terjadi kehebohan dikalangan khalayak. Pernyataan yang bertentangan membuat khalayak semakin bingung, sehingga mereka mencari info yang dirasa sesuai dengan pendirian masing-masing, tidak peduli jika info itu benar atau salah.
Dari jurnal yang sama, tampak bahwa setengah dari responden mencari kebenaran informasi melalui media sosial dan search engine (Rahadi, 2017, hal. 64), padahal dua media ini merupakan yang paling rentan terhadap kebohongan. Edukasi terkait info palsu sendiri masih sangat minim. Jadi, tidak heran jika sebagian besar pengguna internet termakan informasi palsu.
Agar terhindar dari informasi palsu, penting bagi setiap individu mengetahui ciri-ciri dari info palsu itu sendiri. Jika sudah mengetahui ciri-cirinya, maka individu dapat memilah informasi dan media yang kredibel, serta dapat membantu dengan menyebarkan berita yang benar. Berikut ciri dari informasi palsu, sebagaimana dikutip dari “Analisis Penyebaran Berita Hoax di Indonesia” (Marwan & Ahyad, 2017):
1.      Berasal dari situs yang tidak dapat dipercayai.
a.       Belum memiliki tim redaksi (jika itu situs berita).
b.      Keterangan tentang siapa penulisnya tidak jelas (Halaman ABOUT untuk situs blog)
c.       Tidak memiliki keterangan siapa pemiliknya.
d.      Nomor telepon dan email pemilik tidak tercantum. Sekalipun ada tapi tidak bisa dihubungi.
e.       Domain tidak jelas
2.      Tidak ada tanggal kejadiannya.
3.      Tempat kejadiannya tidak jelas.
4.      Menekankan pada isu SARA/sarat dengan isu SARA yang berlebihan.
5.      Kebanyakan kontennya aneh dan menyudutkan pihak tertentu. Saat anda memeriksa tulisan yang lainnya juga demikian: tidak bermutu dan merendahkan pihak tertentu secara berlebihan.
6.      Beritanya tidak berimbang. Menyampaikan fakta dan pertimbangan yang berat sebelah.
7.      Alur cerita dan kontennya tidak logis, langka dan aneh.
8.      Bahasa dan tata kalimat yang digunakan agak rancu dan tidak berhubungan satu sama lain.
9.      Menggunakan bahasa yang sangat emosional dan provokatif.
10.  Menyarankan anda untuk mengklik, membagikan dan menyukai tulisannya dengan nada yang berlebihan. Misalnya: “Jika anda seorang muslim klik....”; “Share tulisan ini agar keluarga anda tidak menjadi korbannya....”; “Like & share sebelum terlambat....”; “Rugi kalua tidak diklik....”; “Kesempatan anda satu-satunya disini....”, dan lainnya.
11.  Penyebarannya (sharing) dilakukan oleh akun media sosial kloningan/ghost/palsu. Biasanya berciri sebagai berikut:
a.       Foto profil perempuan cantik.
b.      Penampilan seksi dan vulgar.
c.       Dilihat dari dindingnya, statusnya langka dan baru dibuat belakangan ini (bukan id lama/bukan id asli).
Selain dari ciri yang tertulis di atas, masih ada beberapa hal lagi yang mengindikasikan informasi itu palsu, seperti: tidak lengkapnya unsur 5W+1H, gaya bahasanya tidak enak dibaca, berbelit dan membingungkan, disebar melalui media sosial tanpa mencantumkan sumber resmi, tidak ada tambahan wawancara dari pihak yang terlibat, tidak disertai foto sebagai penunjang, akhir kalimatnya berisi ajakan, serta penulisnya anonim. Jika menemukan salah satu dari ciri tersebut, maka informasi yang bersangkutan patut untuk diragukan.
Setelah mengetahui ciri dari informasi palsu, lantas bagaimana cara menyikapinya? Sebagai orang yang mempelajari jurnalistik, disarankan kepada khalayak untuk memeriksa kevalidan informasi melalui media massa. Koran merupakan media massa yang kredibilitasnya paling tinggi. Dalam artikel “Peran Jurnalisme Profetik Menghadapi Hoax” (Muhtadiah, 2017, hal. 44), disebutkan bahwa dalam soal kepercayaan, koran cetak menonjol di antara media lain. Hanya 6,4 persen responden yang menjadikan media cetak ini sebagai sumber informasi yang paling sering dipakai, tetapi terkait kepercayaan akan kebenaran berita yang disajikan angkanya bertambah dua kali lipat lebih (14,2 persen). Sebaliknya, media sosial termasuk grup percakapan seperti WhatsApp, justru tertinggi penyusutannya, dari 15 persen menjadi 8,9 persen. Hal ini berarti, walaupun koran sudah kehilangan banyak peminat, informasi yang disampaikan masih paling unggul. Ini disebabkan koran melalui serangkaian cek fakta berulang, sehingga minim sekali informasi yang dipublikasikan memiliki kesalahan.
Selain koran, khalayak juga dapat memeriksa langsung dengan mengunjungi halaman web resmi, seperti saat fatwa MUI mengenai shalat berjemaah selama masa pandemi, maka khalayak dapat membaca langsung keputusan tersebut di www.mui.or.id. Melalui media sosial juga dapat dilakukan, seperti bertanya langsung kepada orangnya. Saat covid menjadi perdebatan di Indonesia, khalayak dapat bertanya langsung kepada orang ahli, seperti dr. Dirga Sakti Rambe, vaksinolog pertama Indonesia yang sering mencuitkan situasi terkini covid dari pandangan dokter di laman twitternya.
Selain melakukan pengecekan sendiri, perlu juga pengawasan dari orang yang lebih ahli. Dalam keluarga, orangtua berperan sebagai penjaga agar anaknya tidak mudah termakan isu-isu tidak benar. Lalu bagaimana jika orangtuanya yang tidak melakukan cek ulang? Maka ini tugas anggota keluarga lain untuk mengingatkan. Melakukan diskusi terkait informasi merupakan cara yang cukup efektif, karena bukan hanya bisa mengetahui info mana yang benar, namun juga dapat membuka wawasan berpikir.
Jika telah mendapatkan informasi yang benar, individu berhak menyebarkannya. Namun, cara penyebaran inipun tidak sembarangan. Umumnya, halaman web resmi menyediakan opsi share dalam setiap unggahannya. Melalui opsi ini, anda dapat menyampaikan informasi tanpa mengubah isinya, karena orang yang mendapatkan tautan akan mengolah sendiri informasi tersebut. Hal ini membantu menghalangi pengubahan fakta oleh orang tidak bertanggungjawab.
Agar kedepannya tidak lagi menjadi korban info palsu, individu diharapkan teliti dan tidak mudah diadu domba. Memang, untuk mendapatkan informasi mudah, namun bukan berarti kita dapat mengabaikan aspek kebenarannya.
C.    Kesimpulan
Internet membantu dalam menyebarkan informasi. Akan tetapi, bukan berarti segala info yang disediakan terjamin kebenarannya. Internet sangat rentan terhadap penyebaran informasi palsu atau menyesatkan. Bahkan, media massa yang bergerak onlinepun masih sering melakukan kesalahan. Hal ini disebabkan tuntutan informasi yang harus memenuhi syarat kecepatan. Untuk mendapatkan informasi yang akurat, maka kita dapat melihat media lain seperti koran, radio dan televisi. Ketiga media ini memberikan informasi lebih akurat dibandingkan informasi media sosial yang terpajang rapi. Memang tidak semudah mengakses internet, namun pilihan ini jauh lebih baik daripada mempercayai media sosial. Dari penelitian, koran merupakan media yang paling kredibel. Jurnalis yang bekerja di media cetak memang bekerja lebih ekstra, karena jika terjadi kesalahan informasi, mereka harus mencari lagi ke lapangan, melakukan konfirmasi kepada narasumber. Bukan berarti media elektronik tidak melakukannya, namun berhubung media elektronik menggunakan teknik siaran, tentu kesalahan info itu akan diralat setelah siaran terjadi, tidak seperti koran yang melalui proses editing ganda. Itulah sebabnya, perlu memeriksa informasi dengan cermat. Media massa bertujuan untuk menyampaikan informasi. Seluruh info yang diberikan memiliki nilai lebih tinggi daripada info yang disebarkan melalui media sosial. Kepintaran khalayak untuk menyeleksi informasi juga dibutuhkan. Jangan mudah percaya informasi yang tidak berasal dari media resmi. Walaupun ada keraguan terhadap media resmi itu sendiri, setidaknya mereka memenuhi standar jurnalistik, tidak seperti media sosial yang banyak meragukan.

Daftar Kepustakaan
HOP Itjen Dep. Kimpraswil. Tanpa tahun. UU 40/1999: Pers. www.hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_40_99.htm. (9 Juni 2020).
Marwan, M. Ravii. 2017. Analisis Penyebaran Berita Hoax di Indonesia. (Online). http://ravii.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/3552/ANALISIS+PENYEBARAN+BERITA+HOAX++DI+INDONESIA.pdf. (10 Juni 2020)
Muhtadiah, Dian. 2017. Peran Jurnalisme Profetik Menghadapi Hoax. (Online). http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/download/4701/4252. (10 Juni 2020).
Rahadi, Dedi Rianto. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. Vol. 5 No. 1. (Online). http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jmdk/article/download/1342/933. (10 Juni 2020).
Ratnasari, Yuliana. 9 Februari 2017. Dewan Pers: Tugas Jurnalis Tercemar Maraknya Berita Hoax. Tirto.id. https://tirto.id/dewan-pers-tugas-jurnalis-tercemar-maraknya-berita-hoax-ciD5. (10 Juni 2020).
Silalahi, Rut Rismarinta, Puri Bestari, dan Windhi Tia Saputra. 2017. Karakteristik Strategi Crowdsourcing untuk Membatasi Penyebaran Hoaxs di Indonesia, Studi Kasus: Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. Jurnal Komunikasi. Jakarta: UPN Veteran Jakarta.

6 komentar: