MENGOLAH INFORMASI AGAR TERHINDAR DARI
BERITA BOHONG
IMRO
ATUR RODHIYAH
Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Dakwah, IAIN Batusangkar Kampus 2, Jl. Raya Batusangkar-Padangpanjang
KM 7, Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum
ABSTRAK
Informasi
merupakan aspek penting yang dibutuhkan manusia. Keberlangsungan hidup dan
bermasyarakat sangat berkaitan erat dengan informasi. Tujuan dari artikel ini
ialah untuk menganalisa dan memberitahukan aspek-aspek informasi palsu. Sumber
data berasal dari dokumentasi dan observasi terhadap situasi sosial. Teknik
analisis data yang digunakan berupa membaca, mencatat dan menganalisis
aspek-aspek yang ada dengan sumber artikel ilmiah, jurnal dan berita sebagai
acuan. Indikator artikel ini dapat diklasifikasikan menjadi informasi palsu,
ciri-ciri dan media kredibel. Artikel ini menunjukkan bahwa informasi palsu
timbul sebagai bentuk pengalihan dari info yang sebenarnya, umumnya menggunakan
media sosial sebagai sarana penyebaran.
KATA KUNCI: informasi palsu, ciri-ciri, media
kredibel.
ABSTRACT
Information
is an important aspect of human need. Longevity and community are closely
associated with information. The purpose of the article is to analyze and
expose aspects of false information. The source comes from the documentation
and observation of social situations. The data analysis techniques used are
reading notes and analyzing available aspects with the scientific journal and
news source for reference. The indicator of this article can be classified into
false information, traits and credible media. The article shows that false
information arises as a distraction from the real information, primarily using
social media as a means of dissemination.
Keyword: false information, traits, credible
media.
A.
Pendahuluan
Indonesia bertumbuh seiring dengan perkembangan
teknologi informasi. Tidak pelak, perkembangan ini membawa pengaruh positif dan
negatif dalam banyak bidang, termasuk jurnalistik. Jurnalistik merupakan
kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia (UU No. 40 Tahun 1999
tentang pers). Untuk mendapatkan informasi yang terpercaya, maka jurnalislah
yang patut ditemui. Akan tetapi, seiring banyaknya media yang beredar, maka
semakin sulit pula untuk mengontrol persebaran informasi ini. Belum lagi
semakin rendahnya nilai jual media membuat kepercayaan khalayak semakin
menurun.
Era digital mengantarkan khalayak untuk mencari
informasi dengan cepat melalui internet. Mediapun tidak mau kalah,
masing-masing berusaha menarik khalayak pada siaran streaming berita atau paparan media online. Saying sekali, khalayak
yang mengunjungi media kredibel seperti ini kalah jumlah dengan yang mengakses
informasi dari pesan berantai aplikasi obrolan grup.
Sebenarnya, informasi berantai di media sosial
seperti facebook atau whatsapp tidak sepenuhnya salah. Namun,
bukan berarti info tersebut juga benar. Sebuah informasi yang baik harus
memenuhi setidaknya unsur 5W+1H, yakni apa, dimana, kapan, siapa, mengapa dan
bagaimana. Apakah dengan mencantumkan unsur tersebut informasi sudah masuk
kategori benar? Belum tentu. Masih ada banyak kriteria lain yang harus dilihat
agar informasi tersebut benar-benar layak diterima serta dapat disebarkan.
B.
Pembahasan
Informasi tidak
benar sama artinya dengan info palsu, yang sekarang ini lebih akrab disebut
sebagai hoax. Pellegrini
mengembangkan definisi hoax dari
MacDougall dan menjelaskannya sebagai sebuah kebohongan yang dikarang
sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari
kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik
atau ekstrinsik. (Silalahi, Bestari, & Saputra, 2017). Sebagai bagian dari
khalayak, tidak ada manfaat yang didapat dari berita palsu ini. Seperti
pengertiannya, info palsu disebarkan untuk mencapai kepentingan pribadi.
Memasuki era
digital, info palsu semakin mudah tersebar. Sebuah fakta dapat berubah
signifikan setelah memasuki internet. Tidak heran, khalayak menjadi skeptis
terhadap segala media. Jika dilihat, sangat sulit percaya kepada media. Kuatnya
unsur liberalis media Indonesia (meski digadang sebagai media yang memiliki
dasar Pancasila) merupakan penyebab utama. Media berlomba-lomba mencari
keuntungan tanpa melihat kualitas program yang mereka tawarkan. Dari sekian
banyak media Indonesia, sangat sedikit yang bisa disebut berkualitas.
Oleh sebab itu,
masyarakat cenderung lebih percaya pada unggahan media sosial. Bukan tanpa
alasan, mereka berpendapat karena media sosial merupakan ‘tempat bercerita
kehidupan nyata’. Jadi, jika A berkata bahwa terjadi peristiwa tabrak lari di
depan rumahnya, dilengkapi foto yang ‘nyata’, maka orang yang membaca postingan
tersebut akan percaya. Padahal, bisa jadi setelah A mempublikasikan infonya,
pelaku tabrak lari itu langsung kembali ke lokasi membawa bantuan serta
bertanggung jawab. A bisa saja melanjutkan informasinya, namun dia bisa juga
memilih untuk tidak melakukan hal tersebut. Inilah yang menyebabkan sebuah
informasi di media sosial, bisa benar namun juga salah.
Sebelum membahas
lebih lanjut terkait info palsu, akan lebih baik ditegaskan dulu mengenai orang
yang menyebarkannya. Seorang jurnalis, baik yang bergerak melalui media maupun
independen, tidak akan memberitakan suatu kejadian setengah-setengah. Jika ada
informasi tambahan, mereka akan membuat berita lanjutan. Jurnalis memiliki kode
etik yang jika dilanggar, bukan hanya menjatuhkan nilainya dikalangan khalayak,
namun juga diantara para jurnalis. Hilangnya kepercayaan ini akan menjadi batas
matinya sebagai jurnalis. Berbeda dengan oknum biasa yang menyebarkan info
tanpa takut konsekuensi. Nyaris seluruh penyebar info tidak berdasar di media
sosial bergerak sendiri. Mereka tidak kuatir kehilangan harga diri sebagai
jurnalis karena mereka memang bukan jurnalis. Perlu diingat, semua orang bisa
mencari info, namun tidak semua orang dapat menyampaikannya. Maraknya informasi
palsu ini menjadi ancaman terhadap media yang bekerja keras menyampaikan
informasi kredibel. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo pada puncak
peringatan HPN 2017 menyebutkan, “tugas utama jurnalis adalah
menyampaikan kebenaran. Kebenaran ini dicemari oleh berita 'hoax'. Wartawan
melawan ini." (Dewan Pers: Tugas Jurnalis Tercemar Maraknya Berita Hoax, https://tirto.id/ciD5)
Berlanjut pada informasi palsu,
sebenarnya ada beberapa jenisnya. Dikutip dari jurnal mengenai informasi hoax,
berikut beberapa bentuknya (Rahadi, 2017, hal. 62):
1.
Fake
news
Berita yang berusaha menggantikan
berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan
ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan
hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik.
Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
2.
Clickbait
Tautan yang diletakkan secara
stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs
lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat
berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.
3.
Confirmation
bias
Kecenderungan untuk
menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan
yang sudah ada.
4.
Misinformation
Informasi yang salah atau tidak
akurat, terutama yang ditujukan untuk menipu.
5.
Satire
Sebuah tulisan yang menggunakan
humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengkomentari kejadian yang
sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti
“Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.
6.
Post-truth
Kejadian di mana emosi lebih
berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.
7. Propaganda
Aktifitas menyebar luaskan informasi,
fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi
opini publik.
Informasi palsu menyebar sesuai dengan kebutuhan penyebarnya.
Saat masa kampanye, maka akan muncul informasi propaganda untuk menjatuhkan
lawan (black campaign). Masa pandemi
seperti sekarang juga tidak luput dari informasi palsu. Banyak tersebar melalui
pesan obrolan grup mengenai covid. Akibatnya, terjadi kehebohan dikalangan
khalayak. Pernyataan yang bertentangan membuat khalayak semakin bingung,
sehingga mereka mencari info yang dirasa sesuai dengan pendirian masing-masing,
tidak peduli jika info itu benar atau salah.
Dari jurnal yang sama, tampak bahwa setengah dari responden
mencari kebenaran informasi melalui media sosial dan search engine (Rahadi, 2017, hal. 64), padahal dua media
ini merupakan yang paling rentan terhadap kebohongan. Edukasi terkait info
palsu sendiri masih sangat minim. Jadi, tidak heran jika sebagian besar
pengguna internet termakan informasi palsu.
Agar terhindar dari informasi palsu, penting bagi setiap
individu mengetahui ciri-ciri dari info palsu itu sendiri. Jika sudah mengetahui
ciri-cirinya, maka individu dapat memilah informasi dan media yang kredibel,
serta dapat membantu dengan menyebarkan berita yang benar. Berikut ciri dari
informasi palsu, sebagaimana dikutip dari “Analisis Penyebaran Berita Hoax di
Indonesia” (Marwan & Ahyad, 2017):
1. Berasal
dari situs yang tidak dapat dipercayai.
a. Belum
memiliki tim redaksi (jika itu situs berita).
b. Keterangan
tentang siapa penulisnya tidak jelas (Halaman ABOUT untuk situs blog)
c. Tidak
memiliki keterangan siapa pemiliknya.
d. Nomor
telepon dan email pemilik tidak tercantum. Sekalipun ada tapi tidak bisa
dihubungi.
e. Domain
tidak jelas
2. Tidak
ada tanggal kejadiannya.
3. Tempat
kejadiannya tidak jelas.
4. Menekankan
pada isu SARA/sarat dengan isu SARA yang berlebihan.
5. Kebanyakan
kontennya aneh dan menyudutkan pihak tertentu. Saat anda memeriksa tulisan yang
lainnya juga demikian: tidak bermutu dan merendahkan pihak tertentu secara
berlebihan.
6. Beritanya
tidak berimbang. Menyampaikan fakta dan pertimbangan yang berat sebelah.
7. Alur
cerita dan kontennya tidak logis, langka dan aneh.
8. Bahasa
dan tata kalimat yang digunakan agak rancu dan tidak berhubungan satu sama
lain.
9. Menggunakan
bahasa yang sangat emosional dan provokatif.
10. Menyarankan
anda untuk mengklik, membagikan dan menyukai tulisannya dengan nada yang berlebihan.
Misalnya: “Jika anda seorang muslim klik....”; “Share tulisan ini agar keluarga
anda tidak menjadi korbannya....”; “Like & share sebelum terlambat....”; “Rugi
kalua tidak diklik....”; “Kesempatan anda satu-satunya disini....”, dan
lainnya.
11. Penyebarannya
(sharing) dilakukan oleh akun media
sosial kloningan/ghost/palsu.
Biasanya berciri sebagai berikut:
a. Foto
profil perempuan cantik.
b. Penampilan
seksi dan vulgar.
c. Dilihat
dari dindingnya, statusnya langka dan baru dibuat belakangan ini (bukan id lama/bukan
id asli).
Selain dari ciri
yang tertulis di atas, masih ada beberapa hal lagi yang mengindikasikan
informasi itu palsu, seperti: tidak lengkapnya unsur 5W+1H, gaya bahasanya
tidak enak dibaca, berbelit dan membingungkan, disebar melalui media sosial
tanpa mencantumkan sumber resmi, tidak ada tambahan wawancara dari pihak yang
terlibat, tidak disertai foto sebagai penunjang, akhir kalimatnya berisi
ajakan, serta penulisnya anonim. Jika menemukan salah satu dari ciri tersebut,
maka informasi yang bersangkutan patut untuk diragukan.
Setelah
mengetahui ciri dari informasi palsu, lantas bagaimana cara menyikapinya?
Sebagai orang yang mempelajari jurnalistik, disarankan kepada khalayak untuk
memeriksa kevalidan informasi melalui media massa. Koran merupakan media massa
yang kredibilitasnya paling tinggi. Dalam artikel “Peran Jurnalisme Profetik
Menghadapi Hoax” (Muhtadiah, 2017, hal. 44), disebutkan bahwa dalam
soal kepercayaan, koran cetak menonjol di antara media lain. Hanya 6,4 persen
responden yang menjadikan media cetak ini sebagai sumber informasi yang paling
sering dipakai, tetapi terkait kepercayaan akan kebenaran berita yang disajikan
angkanya bertambah dua kali lipat lebih (14,2 persen). Sebaliknya, media sosial
termasuk grup percakapan seperti WhatsApp,
justru tertinggi penyusutannya, dari 15 persen menjadi 8,9 persen. Hal ini
berarti, walaupun koran sudah kehilangan banyak peminat, informasi yang
disampaikan masih paling unggul. Ini disebabkan koran melalui serangkaian cek
fakta berulang, sehingga minim sekali informasi yang dipublikasikan memiliki
kesalahan.
Selain koran,
khalayak juga dapat memeriksa langsung dengan mengunjungi halaman web resmi,
seperti saat fatwa MUI mengenai shalat berjemaah selama masa pandemi, maka
khalayak dapat membaca langsung keputusan tersebut di www.mui.or.id. Melalui media sosial juga dapat
dilakukan, seperti bertanya langsung kepada orangnya. Saat covid menjadi perdebatan
di Indonesia, khalayak dapat bertanya langsung kepada orang ahli, seperti dr.
Dirga Sakti Rambe, vaksinolog pertama Indonesia yang sering mencuitkan situasi
terkini covid dari pandangan dokter di laman twitternya.
Selain melakukan
pengecekan sendiri, perlu juga pengawasan dari orang yang lebih ahli. Dalam
keluarga, orangtua berperan sebagai penjaga agar anaknya tidak mudah termakan
isu-isu tidak benar. Lalu bagaimana jika orangtuanya yang tidak melakukan cek
ulang? Maka ini tugas anggota keluarga lain untuk mengingatkan. Melakukan
diskusi terkait informasi merupakan cara yang cukup efektif, karena bukan hanya
bisa mengetahui info mana yang benar, namun juga dapat membuka wawasan
berpikir.
Jika telah
mendapatkan informasi yang benar, individu berhak menyebarkannya. Namun, cara
penyebaran inipun tidak sembarangan. Umumnya, halaman web resmi menyediakan
opsi share dalam setiap unggahannya.
Melalui opsi ini, anda dapat menyampaikan informasi tanpa mengubah isinya,
karena orang yang mendapatkan tautan akan mengolah sendiri informasi tersebut.
Hal ini membantu menghalangi pengubahan fakta oleh orang tidak
bertanggungjawab.
Agar kedepannya
tidak lagi menjadi korban info palsu, individu diharapkan teliti dan tidak
mudah diadu domba. Memang, untuk mendapatkan informasi mudah, namun bukan
berarti kita dapat mengabaikan aspek kebenarannya.
C.
Kesimpulan
Internet membantu dalam menyebarkan informasi.
Akan tetapi, bukan berarti segala info yang disediakan terjamin kebenarannya.
Internet sangat rentan terhadap penyebaran informasi palsu atau menyesatkan.
Bahkan, media massa yang bergerak onlinepun masih sering melakukan kesalahan.
Hal ini disebabkan tuntutan informasi yang harus memenuhi syarat kecepatan.
Untuk mendapatkan informasi yang akurat, maka kita dapat melihat media lain
seperti koran, radio dan televisi. Ketiga media ini memberikan informasi lebih
akurat dibandingkan informasi media sosial yang terpajang rapi. Memang tidak
semudah mengakses internet, namun pilihan ini jauh lebih baik daripada
mempercayai media sosial. Dari penelitian, koran merupakan media yang paling
kredibel. Jurnalis yang bekerja di media cetak memang bekerja lebih ekstra,
karena jika terjadi kesalahan informasi, mereka harus mencari lagi ke lapangan,
melakukan konfirmasi kepada narasumber. Bukan berarti media elektronik tidak
melakukannya, namun berhubung media elektronik menggunakan teknik siaran, tentu
kesalahan info itu akan diralat setelah siaran terjadi, tidak seperti koran yang
melalui proses editing ganda. Itulah sebabnya, perlu memeriksa informasi dengan
cermat. Media massa bertujuan untuk menyampaikan informasi. Seluruh info yang
diberikan memiliki nilai lebih tinggi daripada info yang disebarkan melalui
media sosial. Kepintaran khalayak untuk menyeleksi informasi juga dibutuhkan. Jangan
mudah percaya informasi yang tidak berasal dari media resmi. Walaupun ada
keraguan terhadap media resmi itu sendiri, setidaknya mereka memenuhi standar
jurnalistik, tidak seperti media sosial yang banyak meragukan.
Daftar Kepustakaan
HOP
Itjen Dep. Kimpraswil. Tanpa tahun. UU 40/1999: Pers. www.hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_40_99.htm.
(9 Juni
2020).
Marwan,
M. Ravii. 2017. Analisis Penyebaran Berita Hoax
di Indonesia. (Online). http://ravii.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/3552/ANALISIS+PENYEBARAN+BERITA+HOAX++DI+INDONESIA.pdf. (10
Juni 2020)
Muhtadiah,
Dian. 2017. Peran Jurnalisme Profetik Menghadapi Hoax. (Online). http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/download/4701/4252. (10 Juni
2020).
Rahadi,
Dedi Rianto. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal
Manajemen & Kewirausahaan. Vol. 5 No. 1. (Online). http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jmdk/article/download/1342/933. (10
Juni 2020).
Ratnasari,
Yuliana. 9 Februari 2017. Dewan Pers:
Tugas Jurnalis Tercemar Maraknya Berita Hoax. Tirto.id. https://tirto.id/dewan-pers-tugas-jurnalis-tercemar-maraknya-berita-hoax-ciD5. (10
Juni 2020).
Silalahi,
Rut Rismarinta, Puri Bestari, dan Windhi Tia Saputra. 2017. Karakteristik
Strategi Crowdsourcing untuk
Membatasi Penyebaran Hoaxs di Indonesia, Studi Kasus: Masyarakat Anti Fitnah
Indonesia. Jurnal Komunikasi.
Jakarta: UPN Veteran Jakarta.
Good
BalasHapusLnjutkn
BalasHapusGood job,,,
BalasHapusNice
BalasHapusTerimakasih informasinya, tulisan ini membantu saya untuk lebih berhati hati dalam menerima informasi di sosial media
BalasHapusThanks for sharing
BalasHapus